Saat Pri melanjutkan ceritanya, kadang terhenti karena ada SMS (short massage service). Saya tunggu beberapa saat agar dia dapat membaca dari hp jadulnya. Cara bacanya harus sangat dekat ke mata kirinya. Bukannya takut saya ikut membaca isi pesan tetapi karena kemampuan melihat matanya yang jauh berkurang.
Malang dan untung memang tidak dapat ditolak. Karir tinjunya berakhir, padahal saat itu Supriyono masih dalam usia emas dan kondisi fisiknya sedang bagus-bagusnya untuk berprestasi. Mata kanannya buta, kemampuan untuk melihat dengan mata kiri juga turun drastis.
"Saya bukannya tidak pingin hp android. Tapi gimana pakainya ? Sinar putih hp android membuat saya tidak dapat membaca. Lha, hp ini (sambil menunjukkan hp jadulnya, yang hanya bisa digunakan untuk telpon dan SMS)Â kalau terlalu terang saya gak bisa baca," ungkapnya.
Tiba-tiba saya seperti ditampar kesadaran saya bahwa sesungguhnya saya bertemu dengan si juara sejati, Rabu (11/9). Bertemu dengan seseorang yang dapat kembali bangkit dari "kekalahan" akibat cidera fisik yang permanen, manakala kondisi fisiknya saat dalam top performance.
Bersua dengan orang yang mampu menerima kenyataan. Walau tidak mudah namun tetap dijalani dengan penuh rasa optimis dan semangat. Bahkan dapat membagi ilmu serta pengalaman dan semangat tidak hanya ke atlit tetapi juga ke orang di sekitarnya.
Senyum selalu menghias wajahnya. Kerendahan hati dan keramahan nampak saat melayani para pemilik kendaraan yang akan dan usai parkir. Seolah seperti orang yang tidak mengalami masalah dengan matanya, yang sudah dideritanya selama 29 tahun.
Berkurangnya kemampuan penglihatan tidak mengurangi kecintaannya pada olahraga keras. Tidak hanya olahraga tinju yang ditekuni sebagai pelatih tetapi juga olahraga beladiri lainnya seperti Jiu Jitsu. "Setiap hari Senin, Rabu dan Jumat memberi latihan beladiri mulai jam 5 sampai jam 7 pagi," kata bapak tiga anak, yang saat ini duduk di kelas 3 SMK, 3 SMP dan kelas 6 SD.