Air sungai yang bau, berwarna coklat sampai hitam menandakan buruknya manajemen lingkungan hidup. Karena rendahnya kesadaran dan gagal paham sebagai penghuni kota atau kawasan, yang bertanggung jawab untuk menjaga bumi beserta segala isinya seperti, tanah, air, udara dan mahluk hidup lainnya.
Alam mengajarkan kita untuk menghargai lingkungan lewat hukum sebab akibat sampai rantai makanan. Realitas yang tidak dapat diindahkan oleh manusia.
Sungai bukan tempat pembuangan akhir sampah atau limbah. Bukan pula tempat menghanyutkan segala macam kotoran. Tapi sungai adalah salah satu jalan bagi air untuk memurnikan diri. Air perlu berolahraga, apakah dengan mengalir pelan seperti orang melakukan jalan santai, lari maraton atau sprint. Agar sungai layak menjadi tempat tinggal mahluk hidup lainnya karena airnya memiliki kandungan oksigen yang cukup. Bebas dari zat-zat berbahaya yang mengancam kehidupan.
Udang, kepiting dan sebagian Ikan sudah lama pindah dari Jakarta
Manakala ikan, udang atau kepiting sulit ditemukan lagi di sungai-sungai di Jakarta. Mestinya warga Jakarta sadar ada yang salah dengan lingkungan hidupnya. Ada yang salah dengan perilaku hidup warga kota.Â
Kondisi sungai dengan airnya yang melintasi Jakarta, jadi cermin sejauh mana kepedulian akan lingkungan dan masalah kesehatan bagi dirinya sendiri.
Maka jangan salahkan ibukota yang akan pindah. Jakarta tidak lagi menarik menjadi ibukota. Tidak lagi sehat untuk ditinggali. Sebagaimana ikan, udang dan kepiting yang sudah lama pindah dari sungai-sungai di Jakarta. Atau mati karena tidak tahan hidup di Jakarta sebab sungainya tercemar.
Berbau, kotor sampai berwarna hitam. Orang terlalu egois memikirkan kepentingan diri sampai lupa bagaimana caranya hidup di lingkungan yang sehat.
Masih menurut laporan akurat.com yang mengutip pernyataan Direktur Eksekutif Walhi Jakarta, Tubagus Soleh Ahmadi yang menyebutkan tidak ada sungai di Jakarta yang sehat. Dari tahun 2015 pencemaran air sungai di Jakarta terus meningkat. Sebagian besar mengalami pencemaran berat sekitar 60 sampai 70 persen. Sungai yang airnya mengalami pencemaran terparah sungai Daan Mogot, Ciliwung dan Krukut.
Sungai-sungai di Jakarta yang tercemar semestinya menjadi cermin bagi Jakarta, Â untuk bersama-sama melakukan gerakan atau aksi ramah air. Agar Jakarta kembali terlihat bening dari pantulan air-air sungai.
Sebagaimana perjalanan air limbah, untuk kembali menjadi air yang layak dikonsumsi yang mesti melewati berbagai proses alami atau rekayasa manusia. Tetapi  membutuhkan waktu serta biaya yang tidak murah dan mudah untuk memperoleh air yang bersih.
Aksi nyata bukan sekedar kata-kata
Alam memiliki kemampuan yang terbatas dalam mengolah limbah air, apalagi jika air yang dibuang ke sungai sudah mengandung bahan berbahaya yang tergolong berat. Untuk itu perlu aksi nyata bukan sekedar kata-kata dalam mewujudkan warga Jakarta peduli dan bersikap ramah terhadap air.
Saran aksi atau tindakan tersebut:
(1) Memberikan sanksi tegas dan berat terhadap industri yang membuang limbah secara langsung ke sungai. Tanpa melalui proses pengolahan. Tidak ada kata kompromi terhadap industri atau masyarakat yang melakukan pencemaran terhadap sungai-sungai yang melintasi kota Jakarta. Kepala daerah dari tingkat gubernur, walikota/bupati harus memberi teladan akan penegakan hukum.
(2) Koordinasi antar departemen, antar lembaga dan antar daerah mesti lebih sederhana. Supaya law enforcement pencemaran lingkungan semakin transparan. Jakarta dan daerah penyangga lainnya dapat belajar bagaimana negara-negara di Eropa bekerjasama menjaga kebersihan sungai dan kualitas air di sungai Rhein. Tidak perlu studi banding ke Jerman. Cukup pelajari lewat internet sehingga dananya dapat dipergunakan untuk mendukung aksi nyata mendukung gerakan ramah air.
(3) Memprioritaskan pembangunan sarana prasarana pengolahan limbah cair di kawasan padat penduduk khususnya yang tinggal di tepi daerah aliran sungai (DAS). Salah satunya membuat resapan air limbah rumah tangga atau septic tank dan  pengolahan limbah lainnya, di bawah jalan kampung atau gang. Guna mengatasi kendala sempitnya lahan dan meminimalkan pencemaran air sungai oleh limbah rumah tangga warga Jakarta.Â
(4) Memaksimalkan taman atau hutan kota dengan pohon yang mampu menyerap dan menyimpan air lebih lama. Seperti pohon beringin, mahoni, kelapa dan pohon gayam. Demikian pula pohon bambu yang memiliki kemampuan tinggi dalam menyimpan air. Tapi dengan catatan pohon pohon tersebut harus mendapatkan perawatan dan pemeliharaan yang lebih dibandingkan jika tumbuh di desa atau hutan.
Contoh, taman sekitar Monas mestinya masih dapat ditanami pohon perindang yang mampu menyerap air. Bukan pohon hias seperti jenis palem. Tidak terlalu banyak membiarkan lahan kosong, hanya karena mementingkan estetika tugu Monas supaya mudah terlihat utuh dari segala sisi.
(6) Memberi edukasi yang tepat dan terus menerus kepada masyarakat tentang air bersih. Lewat sekolah, pertemuan tingkat kampung, komunitas pedagang atau pegiat hobi tertentu. Bahwa menjaga air bukan sebatas menyimpan air seperti memasukkan sebuah barang ke dalam kotak.
Tidak salah menormalisasi, naturalisasi sungai- sungai di Jakarta, atau apa pun istilahnya. Tetapi mesti diingat hal itu bukan sepenuhnya untuk menjaga kualitas air sungai dari pencemaran. Namun untuk memperlebar kemampuan sungai dalam menampung air. Diantaranya saat musim hujan.
Ramah terhadap air itu artinya tidak semata-mata meresapkan atau memasukkan segala jenis air ke tanah. Tetapi memperlakukan atau menggunakan air dari hulu sampai hilir secara bijak. Menjaga untuk tidak mudah mencemari tempat-tempat yang menjadi titik berkumpulnya air seperti sungai, waduk, dan embung. Supaya airnya jernih dan ikan, udang, kepiting mau tinggal lagi di sungai-sungai di Jakarta walau ibukota telah pindah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H