Tempat ini mengingatkan rumah paman yang sering saya kunjungi waktu kecil. Di depannya ada teras dapat untuk bermain bekel, dakon, monopoli atau main kartu empat satu atau minuman. Teras ini menjadi favorit kami saat liburan sekolah sebagai tempat bermain tanpa terkena teriknya sinar matahari bersama saudara sepupu.Â
Berkunjung ke Uma Dapur Indonesia Yogya, seperti melihat film dokumenter dengan pemeran saya beserta saudara-saudara sepupu berlarian di dalam rumah. Main petak umpet, sembunyi di belakang pintu atau sedikit lebih nakal lagi, sembunyi di belakang daun jendela. Walau harus memanjat tembok jendela, tujuannya supaya tidak mudah ditemukan.
Rumah kuno bergaya jaman Belanda kini mulai sulit ditemukan walau sebenarnya merupakan aset wisata jika mampu dikelola dengan tepat seperti rumah Uma Dapur Indonesia yang beralamat di Jl. Tri Margo Kulon Yogya. Tidak jauh dari perempatan Jetis Yogya dan pertigaan Borobudur Plaza yang terletak di Jl. Magelang Yogya.
Demikian pula dengan jendelanya, memiliki empat daun jendela. Daun jendela sebelah kiri dan kanan terbagi menjadi dua, atas dan bawah. Bagian bawah tertutup sementara bagian atas terdiri dari kisi-kisi kayu yag berfungsi sebagai ventilasi, keluar masuknya udara.
Jika menginginkan mendapat cahaya yang cukup dan udara banyak masuk ke ruangan, biasanya daun jendela dibuka semua. Tetapi jika merasa malu jika sampai terlihat aktivitas di dalam rumah atau kamar, Â biasanya hanya daun pintu bagian atas yang dibuka. Namun udara dan cahaya dari luar masih cukup menerangi seisi kamar.Â
Bangunan rumah jaman dulu tidak semata-mata hanya mementingkan estetika tetapi juga fungsi serta memanfaatkan sumber daya alam dari angin serta cahaya matahari sebagai penerangan dalam rumah.
Memasuki Uma Dapur Indonesia serasa memasuki rumah milik paman. Letak kamar-kamarnya mirip rumah paman waktu itu. Ada jam dinding mekanik yang terbuat dari kayu. Penggerak jarumnya bukan batu baterai tetapi kumparan kawat atau lilitan seng tipis, sehingga beberapa hari tertentu harus diputar dengan alat berbentuk seperti kunci agar jam tidak berhenti bergerak atau berdetak.
Bunyi lembut "teng....teng....teng," mampu memenuhi seluruh ruangan sesuai dengan jumlah angka yang saat itu menunjukkan waktunya. Berbunyi tiga kali jika menunjukkan angka tiga dan selanjutnya. Tetapi hanya berbunyi sekali saat menunjukkan waktu setengah, seperti setengah lima,setengah enam, setengah tujuh dan seterusnya.
Bukan berarti telpon jaman dahulu tidak cerdas walau saat itu untuk menelpon antar kota harus datang ke kantor telkom dan sesampai disana masih harus mengantri karena tidak sedikit yang akan melakukan pembicaraan antar kota yang dikenai tarif interlokal. Â
Sesampai di belakang rumah Uma Dapur Indonesia terdapat halaman yang cukup luas yang sudah di buat sedemikian rupa sehingga memungkinkan untuk memuat banyak orang sambil menyantap makanan. Konsepnya ruang terbuka, untuk menghindari panasnya matahari ada tenda warna terang dengan ukuran cukup besar dan tinggi. Sehingga angin bersikulasi lancar membuat suasana segar.
Dalam usaha mendapatkan cita rasa yang asli sesuai asal makanannya. Tulus, Manajer Uma Dapur Indonesia menceritakan pihaknya mendatangkan ibu-ibu atau simbok-simbok dari Gunung Kidul untuk mengajari juru masak Uma Dapur Indonesia, bagaimana memasak sayur Lombok Ijo khas Gunung Kidul dengan resep asli. Â
Tidak cukup mengajari tetapi beberapa bulan sekali mereka diundang ke Uma Dapur Indonesia untuk merasakan masakan hasil para juru masak apakah ada yang kurang atau berlebih terkait cita rasa makanan khas. Hal yang sama juga dilakukan untuk beberapa jenis makanan lainnya.
 "Siap.....".Â
Terbayang jelas saya akan makan nasi goreng lagi di Uma Dapur Indonesia.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H