Mohon tunggu...
Ko In
Ko In Mohon Tunggu... Wiraswasta - Berikan senyum pada dunia krn tak sedikit yg berat beban hidupnya

Mendengar dan bersama cari solusi.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Uma Dapur Indonesia, Bukan Hanya Soal Rasa tetapi Juga Kenangan

27 April 2018   12:31 Diperbarui: 27 April 2018   12:36 1071
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tempat ini mengingatkan rumah paman yang sering saya kunjungi waktu kecil. Di depannya ada teras dapat untuk bermain bekel, dakon, monopoli atau main kartu empat satu atau minuman. Teras ini menjadi favorit kami saat liburan sekolah sebagai tempat bermain tanpa terkena teriknya sinar matahari bersama saudara sepupu. 

Berkunjung ke Uma Dapur Indonesia Yogya, seperti melihat film dokumenter dengan pemeran saya beserta saudara-saudara sepupu berlarian di dalam rumah. Main petak umpet, sembunyi di belakang pintu atau sedikit lebih nakal lagi, sembunyi di belakang daun jendela. Walau harus memanjat tembok jendela, tujuannya supaya tidak mudah ditemukan.

Rumah kuno bergaya jaman Belanda kini mulai sulit ditemukan walau sebenarnya merupakan aset wisata jika mampu dikelola dengan tepat seperti rumah Uma Dapur Indonesia yang beralamat di Jl. Tri Margo Kulon Yogya. Tidak jauh dari perempatan Jetis Yogya dan pertigaan Borobudur Plaza yang terletak di Jl. Magelang Yogya.

Uma Dapur Indonesia Yogya (foto: Ko In)
Uma Dapur Indonesia Yogya (foto: Ko In)
Pintu utama rumah sebagaimana rumah jaman dulu, memiliki dua daun pintu. Dua daun pintu yang terbuat dari kaca fungsinya memberi pencahayaan , agar ruangan di dalam rumah tetap terang mendapat cahaya sinar matahari. Konsep bangunan yang memperhatikan kearifan dengan lingkungan yang ramah dan hemat energi.

Demikian pula dengan jendelanya, memiliki empat daun jendela. Daun jendela sebelah kiri dan kanan terbagi menjadi dua, atas dan bawah. Bagian bawah tertutup sementara bagian atas terdiri dari kisi-kisi kayu yag berfungsi sebagai ventilasi, keluar masuknya udara.

Jika menginginkan mendapat cahaya yang cukup dan udara banyak masuk ke ruangan, biasanya daun jendela dibuka semua. Tetapi jika merasa malu jika sampai terlihat aktivitas di dalam rumah atau kamar,  biasanya hanya daun pintu bagian atas yang dibuka. Namun udara dan cahaya dari luar masih cukup menerangi seisi kamar. 

Halaman depan Uma Dapur Indonesia Yogya (foto; Ko In)
Halaman depan Uma Dapur Indonesia Yogya (foto; Ko In)
Sebagai negara tropis, orang jaman dahulu sudah memperhitungkan bagaimana membangun rumah yang sehat. Agar rumah mendapatkan cahaya yang cukup dan sirkulasi udara dalam rumah. Serta tidak terlalu dingin saat musim hujan tiba. 

Bangunan rumah jaman dulu tidak semata-mata hanya mementingkan estetika tetapi juga fungsi serta memanfaatkan sumber daya alam dari angin serta cahaya matahari sebagai penerangan dalam rumah.

Memasuki Uma Dapur Indonesia serasa memasuki rumah milik paman. Letak kamar-kamarnya mirip rumah paman waktu itu. Ada jam dinding mekanik yang terbuat dari kayu. Penggerak jarumnya bukan batu baterai tetapi kumparan kawat atau lilitan seng tipis, sehingga beberapa hari tertentu harus diputar dengan alat berbentuk seperti kunci agar jam tidak berhenti bergerak atau berdetak.

Bunyi lembut "teng....teng....teng," mampu memenuhi seluruh ruangan sesuai dengan jumlah angka yang saat itu menunjukkan waktunya. Berbunyi tiga kali jika menunjukkan angka tiga dan selanjutnya. Tetapi hanya berbunyi sekali saat menunjukkan waktu setengah, seperti setengah lima,setengah enam, setengah tujuh dan seterusnya.

Suasana dalam rumah (foto; Ko In)
Suasana dalam rumah (foto; Ko In)
Televisi ukuran besar produksi sekitar tahun 70an, mejadi asesoris ruangan yang membuat rindu berkumpul dengan saudara sepupu. Untuk segera menelponnya walau sekarang cukup dengan mencari nama saudara di telpon cerdas, dan tinggal sentuh sudah terhubung. 

Bukan berarti telpon jaman dahulu tidak cerdas walau saat itu untuk menelpon antar kota harus datang ke kantor telkom dan sesampai disana masih harus mengantri karena tidak sedikit yang akan melakukan pembicaraan antar kota yang dikenai tarif interlokal.  

Sesampai di belakang rumah Uma Dapur Indonesia terdapat halaman yang cukup luas yang sudah di buat sedemikian rupa sehingga memungkinkan untuk memuat banyak orang sambil menyantap makanan. Konsepnya ruang terbuka, untuk menghindari panasnya matahari ada tenda warna terang dengan ukuran cukup besar dan tinggi. Sehingga angin bersikulasi lancar membuat suasana segar.

Halaman belakang (foto: Ko In)
Halaman belakang (foto: Ko In)
Lampu taman (foto: Ko In)
Lampu taman (foto: Ko In)
Pohon yang tinggi di sekilingnya  ikut menciptakan suasana sejuk dan beberapa lampu taman yang membuat suasana di malam lebih romantis saat menunggu pesanan makanan khas Nusantara , sebagai ciri dari Uma Dapur indonesia.

Dalam usaha mendapatkan cita rasa yang asli sesuai asal makanannya. Tulus, Manajer Uma Dapur Indonesia menceritakan pihaknya mendatangkan ibu-ibu atau simbok-simbok dari Gunung Kidul untuk mengajari juru masak Uma Dapur Indonesia, bagaimana memasak sayur Lombok Ijo khas Gunung Kidul dengan resep asli.  

Tidak cukup mengajari tetapi beberapa bulan sekali mereka diundang ke Uma Dapur Indonesia untuk merasakan masakan hasil para juru masak apakah ada yang kurang atau berlebih terkait cita rasa makanan khas. Hal yang sama juga dilakukan untuk beberapa jenis makanan lainnya.

Suasana asri (Foto: Ko In)
Suasana asri (Foto: Ko In)
Pada kesempatan weekend sore itu bertepatan dengan hari Kartini, saya mendapat kesempatan untuk mencicip nasi goreng,  ayam cemet, pecel Semarangan, bakmi jowo dan sop buntut. Sore itu hujan tidak terlalu lebat menambah suasana sore semakin syahdu. 

Kartini-Kartini di sebelah ruangan (foto: Ko In)
Kartini-Kartini di sebelah ruangan (foto: Ko In)
Apalagi ada beberapa Kartini nampaknya sedang merayakan kebersamaan mereka di samping ruangan kami berada. Jadi mengingatkan Kartiniku yang suka akan pecel, lengkap dengan kerupuk gendarnya serta tempe garitnya.

Pecel Semarangan (foto: Ko In)
Pecel Semarangan (foto: Ko In)
Canda dan tawa mereka terkadang sampai ke telinga kami para Kompasianers Jogja, saat itu kami hadir berlima di Uma Dapur Indonesia. 

Nasi goreng dan wedang tape ketan (foto:Ko In)
Nasi goreng dan wedang tape ketan (foto:Ko In)
Tiba-tiba kawan lama menelpon, memberitahukan jika minggu depan berada di Yogya. Mengajak bertemu, ngobrol sambil makan nasi goreng serta minum wedang secang atau wedang uwuh. Saya pun menjawab dengan singkat.

 "Siap.....". 

Terbayang jelas saya akan makan nasi goreng lagi di Uma Dapur Indonesia. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun