Mohon tunggu...
Kognisi.id
Kognisi.id Mohon Tunggu... Administrasi - Learning Platform by Growth Center part of Kompas Gramedia

Providing a convenient, insightful, and collaborative learning experience

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Manajemen Konflik di Tempat Kerja: Hadapi dengan Kepala Dingin!

2 November 2023   10:08 Diperbarui: 2 November 2023   10:14 519
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: blog.kognisi.id 

Riset terbaru yang ditulis oleh Lorena Castillo menunjukkan bahwa rata-rata waktu yang dihabiskan karyawan seluruh dunia setiap minggunya untuk menyelesaikan perselisihan di tempat kerja adalah 2,1 jam. Selain itu, data juga menunjukkan 85% karyawan mengalami konflik yang tidak dapat dihindari di tempat kerja. Lebih dari 50% karyawan melaporkan bahwa konflik tersebut menyebabkan mereka mengalami stres, kecemasan, bahkan depresi. 

Bagaimana kita mengelola dan merespons konflik ini memiliki dampak yang signifikan terhadap pekerjaan kita. Mari kita melihat sebuah cerita ilustrasi mengenai betapa pentingnya manajemen konflik yang efektif dalam menghadapi tantangan di dunia kerja yang penuh persaingan dan beragam ini. 

Di sebuah perusahaan teknologi yang berkembang pesat, dua karyawan yang berbakat seringkali terlibat dalam konflik. Steve dan Dani memiliki pendekatan yang berbeda terhadap proyek-proyek mereka. Mereka seringkali terlibat dalam perdebatan sengit di hadapan rekan-rekan sekantornya.

Manajer mereka, Lisa mulai menyadari bahwa konflik ini bisa merusak produktivitas tim. Jadi, dia memutuskan untuk mengatasi masalah ini. Pertama, dia mengundang Steve dan Dani untuk berbicara secara terbuka tentang perbedaan mereka. Lisa memfasilitasi diskusi untuk mendengarkan pandangan mereka dan mencari solusi. Setelah mendengarkan mereka, Lisa mengusulkan pendekatan yang lebih terstruktur dalam mengelola perbedaan yang ada. Akhirnya, mereka setuju untuk membuat jadwal pertemuan rutin untuk berbagi ide dan masalah yang dihadapi. 

Lisa juga memberikan pelatihan manajemen konflik kepada mereka berdua. Di bawah bimbingan sang manajer, Steve dan Dani mulai memahami nilai perspektif masing-masing dan mengenali bahwa konflik itu normal. Mereka belajar untuk berkomunikasi lebih efektif dan menemukan cara untuk mengintegrasikan ide-ide mereka dengan lebih baik. Seiring berjalannya waktu, produktivitas tim meningkat, dan konflik antara Steve dan Dani berkurang. Mereka bahkan mulai bekerja sama dengan lebih baik, perusahaan pun juga akhirnya mulai merasakan perubahan yang menguntungan mereka. 

Cerita ini menyoroti pentingnya manajemen konflik yang efektif di tempat kerja dan bagaimana pendekatan yang baik bisa mengubah konflik menjadi peluang untuk pertumbuhan dan kolaborasi. Yuk, pelajari lebih dalam lagi mengenai urgensi dan strategi kemampuan manajemen konflik di tempat kerja! 

Mengapa penting untuk belajar manajemen konflik secara profesional?

Sumber Gambar: blog.kognisi.id
Sumber Gambar: blog.kognisi.id

 

Dalam lingkup karir dan bisnis yang serba kompetitif saat ini, kemungkinan konflik di tempat kerja menjadi hal yang tidak bisa dihindari. Menurut laporan dari Wiley, beberapa sumber konflik utama di tempat kerja adalah perbedaan pendapat, kurangnya komunikasi, perbedaan nilai, dan kurangnya keterlibatan.

Riset yang dilakukan oleh Society for Human Resource Management (SHRM) menunjukkan bahwa 65% karyawan merasa bahwa konflik di tempat kerja telah berdampak negatif pada pekerjaan mereka. Oleh karena itu, kegagalan dalam memahami dan mengelola konflik di tempat kerja dapat menciptakan suasana kerja yang buruk bagi karyawan. Berikut merupakan beberapa konsekuensi yang akan dihadapi apabila konflik di tempat kerja tidak ditangani dengan baik: 

Penurunan produktivitas

Riset yang dilakukan oleh Dedi Iskamto pada tahun 2022 menunjukkan bahwa penurunan performa karyawan, 59% diantaranya terjadi karena adanya konflik di tempat kerja mereka. 

Konflik yang tidak diatasi dengan baik dapat mengganggu fokus dan produktivitas karyawan. Karyawan yang terlibat dalam konflik mungkin lebih fokus pada masalah tersebut daripada tugas pekerjaan mereka. Selain itu, permasalahan yang tidak terselesaikan dapat membuat karyawan merasa kurang termotivasi untuk melakukan pekerjaan dengan baik. 

Hubungan profesional yang tidak harmonis

Sebuah artikel yang berjudul Essential Workplace Conflict in 2023 mengungkap bahwa 57% karyawan yang mengalami konflik di tempat kerja sampai ke tahap penghinaan atau cedera pribadi.

Konflik yang berlarut-larut dapat menciptakan ketegangan dan permusuhan di antara rekan kerja. Hal ini membuat lingkungan kerja menjadi tidak nyaman dan membuat bekerja bersama menjadi sulit. Selain itu, permasalahan yang ada dapat menghambat kolaborasi di antara tim atau departemen. Karyawan mungkin enggan untuk bekerja bersama atau berbagi ide karena ketegangan yang ada.

Terganggunya kesehatan fisik dan mental

Penelitian yang dilakukan oleh Koura dkk ditemukan bahwa tingkat WFC (Work-Family Conflict) yang tinggi dapat menyebabkan permasalahan terhadap kesehatan mental dan fisik, seperti ketegangan psikologis, kecemasan, depresi, keluhan somatik, hipertensi, dan penyalahgunaan alkohol. 

Karyawan yang mengalami konflik atau tekanan berisiko lebih tinggi untuk mengembangkan gangguan mental seperti depresi, kecemasan, dan kelelahan emosional. Konflik dan tekanan di tempat kerja dapat menyebabkan tingkat stres yang tinggi. Stres berkepanjangan meningkatkan risiko gangguan pada kesehatan fisik dan mental karyawan. 

Reputasi organisasi menjadi buruk

Dalam Essential Workplace Conflict in 2023 juga diungkapkan bahwa konflik di tempat kerja yang tidak terselesaikan dapat berdampak negatif pada tingkat keberhasilan perusahaan sebesar 20%-30%.

Permasalahan dalam suatu perusahaan menjadi perhatian publik atau yang berdampak buruk pada citra organisasi dapat merusak reputasi perusahaan. Konflik yang terbuka dan berlarut-larut dapat menciptakan citra perusahaan sebagai tempat kerja yang tidak sehat, tidak ramah, atau tidak profesional. Ini bisa mempengaruhi pandangan calon karyawan, mitra bisnis, dan pelanggan terhadap perusahaan.

Untuk menghindari konsekuensi negatif ini, penting bagi organisasi dan individu untuk memiliki kebijakan dan praktik manajemen konflik yang efektif. Ini melibatkan komunikasi terbuka, mediasi, pendekatan yang kolaboratif, dan upaya untuk memecahkan konflik dengan cara yang memadukan kepentingan semua pihak.

Apa saja strategi manajemen konflik di tempat kerja? 

Konflik adalah hal yang tidak dapat dihindari dalam lingkungan kerja. Namun, manajemen konflik yang efektif dapat menjadi kunci untuk mempertahankan produktivitas dan harmoni di tempat kerja. Model Thomas-Kilmann adalah kerangka kerja yang membantu dalam memahami dan mengelola konflik melalui lima gaya resolusi konflik yang berbeda. Mari kita menjelaskan masing-masing gaya dengan contoh nyata di tempat kerja: 

Sumber gambar: blog.kognisi.id
Sumber gambar: blog.kognisi.id

Kompromi (Compromising) 

Dalam resolusi konflik lewat kompromi, individu mencoba untuk menemukan solusi terbaik yang dapat diterima oleh semua pihak. Biasanya, orang yang menginisiasi pendekatan ini akan mengorbankan sebagian dari tujuan mereka. Atau bisa saja, pihak yang terlibat mencari solusi di mana keduanya harus memberikan dan menerima. Ini adalah pendekatan ‘tengah-tengah’ di mana kedua belah pihak memberikan sebagian dari keinginan mereka.

Contoh kasus: Dalam negosiasi gaji, seorang calon karyawan mungkin bersedia menerima gaji yang sedikit lebih rendah dari permintaan awalnya, sementara perusahaan bersedia memberikan sedikit lebih banyak dari penawaran awal mereka. 

Kolaborasi (Collaborating)

Kolaborasi mewajibkan individu untuk bekerja sama secara aktif, sehingga solusi bersama yang memenuhi kepentingan semua pihak dapat ditemukan. Cara ini melibatkan komunikasi terbuka, pemecahan masalah bersama, dan berbagi informasi secara aktif.

Contoh kasus: Tim proyek yang berisi beragam orang dengan seribu perspektif masing-masing, bekerja sama untuk mengatasi masalah keuangan. Mereka bersama-sama merinci alternatif, berbagi data, dan akhirnya mencapai rencana yang memenuhi kebutuhan semua anggota tim.

Menghindar (Avoiding)

Bentuk resolusi lain yang dijelaskan oleh Thomas-Kilmann ada menghindar atau avoiding. Pihak yang bermasalah mencoba menghindari atau menunda penyelesaian konflik daripada menghadapinya secara langsung. Mungkin terkesan ‘lari dari masalah’, namun biasanya cara ini digunakan ketika situasi sangat tegang sehingga perlu waktu sejenak untuk meredakan emosi.

Contoh kasus: Seorang manajer mungkin memilih untuk menunda pembicaraan konflik dengan bawahannya hingga suasana hati mereka lebih baik dan mereka dapat berbicara dengan tenang. Hal ini dikarenakan suasana kerja yang sedang tegang, sehingga menghindari konflik sementara merupakan cara terbaik untuk menghadapi permasalahan yang ada. 

Penyesuaian (Accommodating)

Individu bersedia untuk mengorbankan kepentingan pribadi mereka demi kepentingan pihak lain. Mereka mungkin memberikan insiatif atau mengalah dalam upaya untuk menjaga hubungan yang baik. Biasanya, pihak yang mengalah tidak mengharapkan imbalan seimbang. Cara ini digunakan ketika memelihara hubungan adalah yang paling penting.

Contoh kasus: Seorang karyawan setuju untuk menggantikan jadwal kerja rekan mereka. Usut demi usut, ia mencoba untuk membantu teman kerja yang membutuhkan izin darurat karena permasalahan keluarga. Karyawan tersebut akhirnya tetap masuk bekerja, meskipun ini berarti ia harus mengorbankan rencana liburannya sendiri. 

Bersaing (Competing) 

Metode bersaing atau competing bisa menjadi cara resolusi masalah yang agresif. Pihak yang terlibat bersaing untuk memenangkan konflik, seringkali tanpa mempertimbangkan kepentingan pihak lain. Pendekatan ini cocok untuk situasi di mana satu pihak yakin bahwa keputusan mereka yang terbaik.

Contoh kasus: Dalam situasi tender suatu proyek, berbagai perusahaan bersaing untuk memenangkan kontrak dengan menawarkan harga terendah dan persyaratan yang ketat. Masing-masing dari mereka mencoba memberikan penawaran yang terbaik agar bisa mendapatkan bagian dari proyek tersebut. 

Penting untuk memilih metode resolusi konflik yang sesuai dengan situasi, tujuan, dan hubungan dengan pihak yang terlibat. Tidak ada satu strategi yang cocok untuk semua situasi, pemahaman akan gaya-gaya ini membantu individu dan organisasi mengelola konflik secara efektif. Mengenali mode yang paling sesuai dengan situasi tertentu adalah kunci dalam menggunakan model Konflik Thomas-Kilmann secara efektif.

Manajemen konflik yang efektif adalah kunci untuk menjaga produktivitas dan menciptakan lingkungan kerja yang harmonis. Jelas, kemampuan resolusi konflik menjadi sangat penting dalam dunia profesional. Pelajaran lebih lengkap dalam mengenai kemampuan manajemen konflik juga bisa dipelajari dari kelas ‘Mengatasi Konflik Tanpa Gaduh’. Kelas yang dipandu Victor Chandrawinata ini mengajarkan kita untuk lebih ‘berkepala dingin’ dalam menghadapi permasalahan pada kehidupan sehari-hari. Yuk, mulai melatih diri untuk dapat menyelesaikan konflik dengan tenang dan tetap menemukan solusi bagi semua pihak! 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun