Konflik yang tidak diatasi dengan baik dapat mengganggu fokus dan produktivitas karyawan. Karyawan yang terlibat dalam konflik mungkin lebih fokus pada masalah tersebut daripada tugas pekerjaan mereka. Selain itu, permasalahan yang tidak terselesaikan dapat membuat karyawan merasa kurang termotivasi untuk melakukan pekerjaan dengan baik.Â
Hubungan profesional yang tidak harmonis
Sebuah artikel yang berjudul Essential Workplace Conflict in 2023 mengungkap bahwa 57% karyawan yang mengalami konflik di tempat kerja sampai ke tahap penghinaan atau cedera pribadi.
Konflik yang berlarut-larut dapat menciptakan ketegangan dan permusuhan di antara rekan kerja. Hal ini membuat lingkungan kerja menjadi tidak nyaman dan membuat bekerja bersama menjadi sulit. Selain itu, permasalahan yang ada dapat menghambat kolaborasi di antara tim atau departemen. Karyawan mungkin enggan untuk bekerja bersama atau berbagi ide karena ketegangan yang ada.
Terganggunya kesehatan fisik dan mental
Penelitian yang dilakukan oleh Koura dkk ditemukan bahwa tingkat WFC (Work-Family Conflict) yang tinggi dapat menyebabkan permasalahan terhadap kesehatan mental dan fisik, seperti ketegangan psikologis, kecemasan, depresi, keluhan somatik, hipertensi, dan penyalahgunaan alkohol.Â
Karyawan yang mengalami konflik atau tekanan berisiko lebih tinggi untuk mengembangkan gangguan mental seperti depresi, kecemasan, dan kelelahan emosional. Konflik dan tekanan di tempat kerja dapat menyebabkan tingkat stres yang tinggi. Stres berkepanjangan meningkatkan risiko gangguan pada kesehatan fisik dan mental karyawan.Â
Reputasi organisasi menjadi buruk
Dalam Essential Workplace Conflict in 2023 juga diungkapkan bahwa konflik di tempat kerja yang tidak terselesaikan dapat berdampak negatif pada tingkat keberhasilan perusahaan sebesar 20%-30%.
Permasalahan dalam suatu perusahaan menjadi perhatian publik atau yang berdampak buruk pada citra organisasi dapat merusak reputasi perusahaan. Konflik yang terbuka dan berlarut-larut dapat menciptakan citra perusahaan sebagai tempat kerja yang tidak sehat, tidak ramah, atau tidak profesional. Ini bisa mempengaruhi pandangan calon karyawan, mitra bisnis, dan pelanggan terhadap perusahaan.
Untuk menghindari konsekuensi negatif ini, penting bagi organisasi dan individu untuk memiliki kebijakan dan praktik manajemen konflik yang efektif. Ini melibatkan komunikasi terbuka, mediasi, pendekatan yang kolaboratif, dan upaya untuk memecahkan konflik dengan cara yang memadukan kepentingan semua pihak.
Apa saja strategi manajemen konflik di tempat kerja?Â
Konflik adalah hal yang tidak dapat dihindari dalam lingkungan kerja. Namun, manajemen konflik yang efektif dapat menjadi kunci untuk mempertahankan produktivitas dan harmoni di tempat kerja. Model Thomas-Kilmann adalah kerangka kerja yang membantu dalam memahami dan mengelola konflik melalui lima gaya resolusi konflik yang berbeda. Mari kita menjelaskan masing-masing gaya dengan contoh nyata di tempat kerja:Â
Kompromi (Compromising)Â
Dalam resolusi konflik lewat kompromi, individu mencoba untuk menemukan solusi terbaik yang dapat diterima oleh semua pihak. Biasanya, orang yang menginisiasi pendekatan ini akan mengorbankan sebagian dari tujuan mereka. Atau bisa saja, pihak yang terlibat mencari solusi di mana keduanya harus memberikan dan menerima. Ini adalah pendekatan ‘tengah-tengah’ di mana kedua belah pihak memberikan sebagian dari keinginan mereka.