Saat itu umurku masih 3 tahun. Aku tidak terlalu mengingatnya tapi kukira mereka hanya akan pergi sebentar, ternyata selamanya. Jujur saja aku kaget saat mendengar bahwa orang tuaku adalah kriminal, mereka dipenjara dalam kurun waktu yang cukup lama. Jadi yah aku tinggal bersama kakek dan nenekku hingga saat ini. Aku belajar dengan sangat giat agar bisa mendapatkan beasiswa kuliah dan tidak merepotkan mereka. Aku juga bekerja sambilan dengan menjual beberapa kerajinan yang lumayan diminati.Â
"Nduk ayo makan dulu, mumpung masih anget keburu dingin nanti" ujar nenek yang sedang menyiapkan makanan di ruang makan.
"Iya nek, bentar" aku membereskan buku-buku dan alat tulisku lalu pergi menuju ruang makan. Terlihat ada nasi dengan sayur sop dan lauk tempe bacem. Aku mengambil makanan sesuai dengan porsiku dan memakannya. Masakan nenek emang yang paling enak, terkadang aku ingin membantu nenek memasak tapi terakhir kali aku bantu tanganku malah tergores pisau dan sejak saat itu ga boleh lagi. Mungkin aku akan belajar masak nanti pas kuliah? untuk bantu-bantu biasanya aku membersihkan rumah atau membelikan bahan-bahan masakan.Â
"Nara habis ini mau lulus kan? mau kuliah dimana?" tanya nenek kepadaku. Setelah dipikir-pikir, aku belum bilang kalau udah dapet beasiswa kuliah di Bandung.
"Sebenernya Nara udah dapet beasiswa nek, maaf Nara lupa bilang". Mata nenek terlihat berkaca-kaca.Â
Nenek pergi menghampiri kakek yang sedang menonton TV di ruang tamu dan memberitahukan hal yang menyenangkan ini kepada kakek. Mereka menangis terharu, aku sudah tidak sanggup lagi dan memeluk mereka. Nenek dan kakek terlihat sangat senang, mereka menanyakan berbagai hal yang tidak bisa aku jawab karena aku sendiri juga tidak tahu.Â
"Nara pamit dulu ya kek, nek, kayaknya Nara ga bisa sering pulang kesini soalnya jaraknya jauh terus bakalan banyak tugas disana"
"Iya, gapapa nduk. Nara fokus aja belajar disana, gausah terlalu mikirin kakek sama nenek". Aku memberikan mereka pelukan terakhir sebelum akhirnya pergi ke Bandung.Â
BRUUKK
Aku membiarkan koperku tergeletak di lantai dan menaiki kasur. Perjalanan dari sana ke Bandung emang jauh, terus biar lebih hemat aku memutuskan untuk jalan kaki aja sekalian olahraga gitu kan ya. Eh ternyata jarak dari stasiun ke kos-kosanku lima kilometer. Kuliah baru dimulai dua minggu lagi, jadi aku masih mempunyai banyak waktu untuk bersantai. Atau aku belajar masak aja kali ya? mumpung belum banyak mahasiswa yang ngekos disini, jadi dapurnya jarang dipakai.Â
Aku bangkit dari kasur ku dan mulai membereskan barang-barang di koperku. Aku membuka smartphone ku dan mencari resep makanan yang lumayan simple untuk dibuat. Setelahnya, aku pergi ke minimarket terdekat buat beli bahan-bahannya. Syukurlah alat masak di dapur ini lumayan lengkap, aku mulai memotong-motong bahan makanan yang aku beli seperti wortel.Â
Jariku tidak tergores, tapi hasil potongannya kacau banget. Tebelnya beda-beda ada yang sampai dua cm. Dan yah seiring berjalannya waktu aku lebih baik dalam memasak, aku juga membeli panci listrik agar aku bisa memasak di kamar saja.Â
Kehidupan kuliahku sudah di mulai, sibuk banget. Aku juga harus nyambi kerja sambilan gimana ga makin sibuk, dari yang awalnya aku menelpon kakek dan nenek seminggu sekali atau dua minggu sekali jadi sebulan sekali. Sepertinya, tahun ini aku bisa pulang dulu.Â
"Nek, maaf ya tahun ini Nara belum bisa pulang dulu.."
"Iya Nara.. gapapa kok, gimana kabar Nara disana?"
"Baik nek, nenek sama kakek gimana?"
"Baik-baik juga kok, kakek juga udah jarang kambuh"
Dan itulah pembicaraan terakhirku dengan nenek. Saat sedang mengerjakan tugas kuliahku, aku mendapatkan telepon. Tumben sekali nenek yang menelpon duluan, biasanya aku yang menelpon duluan karena nenek tau aku sibuk dan tidak mau terlalu mengganggu. Kami juga baru telepon sekitar minggu lalu.
"Halo apakah anda adalah keluarga dari ibu Istari dan bapak gafar?"Â
"Iya, saya cucunya. Anda siapa ya?"
"Ibu Istari dan bapak Gafar kondisinya sedang kritis dan berada di ruang ICU. Mereka dirawat di rumah sakit ******"
"Baik, saya akan segera kesana. Terima kasih atas informasinya"
Aku mematikan sambungan telepon dan bergegas menuju stasiun. Seluruh tubuhku bergetar dengan hebat. Untungnya masih ada tiket yang tersisa sore ini. Kereta itu akan berangkat pukul tujuh malam, sedangkan sekarang masih pukul lima sore. Masih ada waktu dua jam lagi. Sembari menunggu, aku berusaha menenangkan diriku. Aku membeli pop mie dan air mineral di stan terdekat.Â
Aku menyandarkan tubuhku di kursi.dan menyalakan ponselku. Perjalanan dari sini ke Mojokerto menggunakan kereta akan memakan waktu yang cukup lama. Lebih baik aku tidur dulu, jadi ketika sampai disana nggak ngantuk lagi.
BRUAKK
Aku memegangi kepalaku yang terbentur dinding kereta. Benturan itu cukup keras sehingga membuat dahiku berdarah. Sakit, batinku. Tidak berhenti disitu, kereta bergoyang dengan sangat hebat yang membuatku terombang ambing. Mungkin karena malam hari jadi penumpang kereta ini tergolong sedikit. Kepanikan memang terjadi, namun tidak sampai seheboh itu.Â
Entah apa yang terjadi, kereta bagian depan terhenti yang membuat gerbong-gerbong belakang bertabrakan dan situasi menjadi tidak terkontrol. Dampak dari gerbong-gerbong yang bertabrakan membuatku tidak sadarkan diri. Terakhir yang kulihat hanya orang-orang yang sibuk menyelamatkan diri dan beberapa orang yang tidak sadarkan diri. Maafkan aku nek, aku tidak bisa datang kesana, aku tidak bisa mengabari nenek. Maafkan aku juga kek, aku tidak bisa menjenguk kakek. Semoga kondisi kakek kembali membaik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H