Mohon tunggu...
David Abdullah
David Abdullah Mohon Tunggu... Lainnya - —

Best in Opinion Kompasiana Awards 2021 | Kata, data, fakta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Belajar Moderasi Beragama dari Desa "Pancasila" Balun

16 Desember 2022   18:31 Diperbarui: 18 Desember 2022   04:49 55281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi toleransi dan moderasi antarumat beragama di Indonesia. | Sumber: Antara Foto/ Hafidz Mubarak A via Kompas.com

Perbedaan acapkali melahirkan sekat dan friksi. Namun, hal itu tak berlaku di Desa Pancasila ini. Meski para warganya memeluk tiga agama yang berbeda, mereka senantiasa hidup rukun berdampingan tanpa adanya konflik selama puluhan tahun.

Perbedaan dan keragaman dapat menjadi faktor perekat, atau justru penyekat, bergantung pada cara individu dalam memaknainya. Heterogenitas hanya bisa menjadi faktor perekat jika kita cukup bijak dan adil dalam menyikapinya

Cara pandang itulah yang terus dilestarikan secara turun temurun oleh warga Desa Balun, Kecamatan Turi, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Meski para warganya memeluk tiga agama yang berbeda, yakni Islam, Kristen, dan Hindu, hal itu tak semerta-merta membuat mereka saling berselisih atau menjaga jarak satu sama lain.

Merujuk data administrasi pemerintahan desa tahun 2017, jumlah populasi Desa Balun mencapai 4,621 jiwa. Dari angka itu, diketahui 75 persen di antaranya memeluk agama Islam, 18 persen beragama Kristen, dan 7 persen sisanya penganut agama Hindu.

Sejak masuknya agama Kristen dan Hindu di Desa Balun pada tahun 1967 silam, yang semula hanya dihuni oleh warga muslim, tidak pernah sekalipun terjadi konflik berbau agama. Mereka akan saling menghargai dan menghormati satu sama lain. Pun tak ada segregasi dan diskriminasi di antara mereka.

Peta tempat ibadah tiga agama di Desa
Peta tempat ibadah tiga agama di Desa "Pancasila" Desa Balun, Kecamatan Turi, Lamongan, Jawa Timur. | Sumber: Kompas.id/Dimas

Keharmonisan umat beragama di Desa Balun tercermin dari tempat ibadahnya yang berada dalam satu komplek yang saling berdekatan. Lokasi antara Masjid Miftahul Huda dan Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Balun hanya dipisahkan oleh alun-alun desa. Adapun Pura Sweta Maha Suci terletak di sebelah barat masjid, dengan jarak 75 meter.

Masih di lokasi yang sama, terdapat komplek pemakaman yang juga menjadi makam Mbah Alun atau Sunan Tawang Alun, sosok wali sekaligus leluhur warga Desa Balun. Dari nama Mbah Alun lah, Desa Balun memperoleh identitasnya.

Walaupun tempat ibadahnya saling berdekatan, tidak pernah terjadi gesekan di antara para penganut agama. Dengan heterogenitas dan sikap toleransi yang begitu tinggi, desa yang berjarak sekitar 4 kilometer dari pusat Kota Lamongan ini dikenal dengan sebutan Desa Pancasila.

Tingginya toleransi warga Desa Balun juga bisa dilihat dalam aktivitas keseharian mereka. Kala ada peringatan hari raya atau hari besar salah satu agama, warga yang berbeda agama akan turut membantu dalam persiapannya dan menjaga jalannya prosesi keagamaan tersebut.

Saat umat Islam tengah melaksanakan salat id, umat Kristen dan Hindu akan berjaga di sekitar masjid. Tatkala umat Hindu melaksanakan Nyepi, umat Islam dan Kristen akan berjaga. Begitu pula tatkala umat Kristen sedang merayakan Natal, mereka akan kompak menjaga lingkungan desa.

Spirit toleransi itu dipraktikkan agar warga yang tengah beribadah dapat menjalankan keyakinan masing-masing dengan aman dan hikmat. Hal serupa juga berlaku ketika ada hajatan. Seluruh warga, tanpa memandang keyakinannya, akan menghadiri dan saling membantu.

Toleransi beragama di Desa Balun tidak hanya terlihat dalam keseharian saja. Dalam struktur organisasi pemerintahan desa, peran masing-masing pemeluk agama juga difasilitasi tanpa adanya diskriminasi. Mereka dilibatkan secara penuh dan aktif sehingga dapat ikut berperan untuk mewakili aspirasi serta ajaran agamanya masing-masing.

Moderasi Beragama

Dalam sudut pandang agama, keragaman adalah manifestasi anugerah sekaligus kehendak Tuhan. Hal itu harus diterima sebagai realitas kehidupan, bukan hal yang perlu dilawan (taken for granted). 

Andai Tuhan menghendaki, tentu tidak sulit untuk membuat umat manusia menjadi seragam, satu jenis, atau bahkan sangat identik satu sama lain.

Namun, Allah SWT menghendaki sebaliknya. Ia menciptakan umat manusia yang bersuku-suku, berbangsa-bangsa, supaya manusia bisa saling belajar serta saling mengenal dalam hubungan sosial yang dinamis. Prinsip itu sesuai dengan firman-Nya dalam surat Al-Hujurat ayat 13.

Masjid Miftahul Huda yang terletak berdampingan dengan Pura Sweta Maha Suci di Desa
Masjid Miftahul Huda yang terletak berdampingan dengan Pura Sweta Maha Suci di Desa "Pancasila" Balun. | Sumber: Kompas.com/Hamzah Arfah

Indonesia memiliki keragaman etnis, suku, budaya, bahasa, dan agama yang tidak ada duanya di dunia. Selain enam agama yang paling banyak dianut, ada ratusan kepercayaan lokal di Nusantara.

Berkaca pada fakta itu, bisa dibayangkan betapa banyak dan beragamnya pemahaman, keyakinan, serta kepentingan masing-masing warga bangsa yang perlu diakomodasi, termasuk dalam konteks menjalankan praktik beragama.

Setiap individu berhak memeluk agama yang diyakininya. Mereka juga berhak mempunyai pemahaman bahwa keyakinan serta agama yang dianutnya itu merupakan pedoman hidup yang paling ideal. Di sisi lain, setiap pemeluk agama juga harus menghargai hak pemeluk agama lainnya yang berpandangan serupa.

Dalam realitas keberagaman Indonesia itu, konsep keagamaan yang moderat menjadi hal yang sangat krusial dan mendesak untuk dikampanyekan. Tidak sebatas dituturkan, tetapi juga diimplementasikan dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat.

Oleh sebab itu, konsep moderasi beragama diusulkan sebagai sebuah jalan tengah guna menjembatani segala macam perbedaan di Indonesia. Ide dasar moderasi ialah mencari persamaan, bukan justru memperlebar perbedaan.

Moderasi beragama merupakan perilaku beragama yang moderat, adil, toleran, dan selalu mengutamakan kemaslahatan komunal. Ia juga dapat diartikan sebagai proses memahami sekaligus mengamalkan ajaran agama secara proporsional dan seimbang, agar terhindar dari perilaku ekstrem dalam beragama.

Dalam jurnal Moderasi Beragama yang dirilis Kementerian Agama (KEMENAG) disebutkan bahwa, moderasi beragama harus dipahami sebagai manifestasi sikap beragama yang seimbang antara pengamalan agama sendiri (eksklusif) dan penghormatan pada praktik beragama orang lain yang berbeda keyakinan (inklusif).

Meski demikian, pada hakikatnya, ajaran Islam itu sendiri sudah sangat moderat. Islam rahmatan lil alamin. Artinya, Islam yang hadir di tengah-tengah masyarakat, mampu mewujudkan kedamaian dan kasih sayang bagi manusia serta alam semesta.

Moderasi beragama bukan bermakna suatu keharusan untuk memoderasi agama. Sebab, Islam dalam dirinya sudah sarat akan prinsip moderasi, yakni keadilan, proporsionalitas, dan harmonisasi.

Moderat sering disalahpahami sebagai bentuk kompromi keyakinan teologis dengan pemeluk agama lainnya. Moderasi beragama bukanlah sinkretisme agama atau pendangkalan akidah. Sama sekali bukan.

Gereja Kristen Jawi Wetan Balun yang berhadapan (± 70 meter) dengan Masjid Miftahul Huda di Desa
Gereja Kristen Jawi Wetan Balun yang berhadapan (± 70 meter) dengan Masjid Miftahul Huda di Desa "Pancasila" Balun. | Sumber: Kompas.com/Hamzah Arfah
Moderasi beragama tidak akan menghalangi seseorang untuk menjalankan setiap ajaran agamanya secara lurus dan serius. Prinsip itu bertujuan untuk mencari titik temu dua kutub ekstrem dalam praktik beragama tanpa harus menggadaikan iman serta ajaran agamanya sendiri.

Sejatinya pemahaman semacam itu juga termaktub dalam surat Al-Kafirun ayat 6 yang berbunyi, "Lakum dinukum waliyadin". Artinya, bagimu agamamu, bagiku agamaku.

Prinsip beragama itulah yang dipraktikkan oleh warga muslim Desa Balun selama puluhan tahun. Mereka bergotong-royong untuk membangun desa dan membantu warga pemeluk agama lain untuk menjalankan keyakinannya, tanpa sedikitpun mengurangi kadar keimanannya sendiri.

Kendati menjadi kelompok mayoritas di desanya, mereka tidak pernah berperilaku diskriminatif kepada pemeluk agama lain. Mereka juga tetap menghormati dan menghargai warga lain yang berbeda paham. Bagi mereka, prinsip toleransi beragama harus diutamakan dalam kehidupan sehari-hari.

Sikap itu terefleksikan saat warga muslim berjaga di area sekitar gereja dan pura dalam momen sakral tertentu agar warga non-muslim bisa menjalankan hak-hak dasarnya dalam beribadah dengan aman, nyaman, dan hikmat.

Interaksi sosial (multi agama) di desa kecil ini melahirkan budaya-budaya yang khas. Hal itu menciptakan interpretasi pada simbol-simbol budaya yang berbeda dengan desa lainnya.

Contohnya, dalam momen hajatan, warga non-muslim perempuan biasanya akan mengenakan kerudung dan kaum laki-laki akan mengenakan songkok. Hal ini berarti kerudung dan songkok dimaknai sebagai sebuah simbol budaya yang dikenakan untuk menghormati prosesi hajatan. Bukan sebagai simbol agama atau praktik beragama.

Begitu pula tatkala, misalnya, warga muslim mengenakan udeng dan kamen (sarung bali) dalam momen pengamanan Nyepi. Hal itu bisa dimaknai sebagai simbol budaya dan toleransi tanpa harus mengamini pemahaman agama yang tak sejalan dengan iman mereka.

Alih-alih sebagai penyekat, perbedaan agama justru terbukti menjadi instrumen perekat bagi warga Desa Balun. Dengan terciptanya toleransi, maka masing-masing umat beragama bisa memperlakukan orang lain secara terhormat, mampu menerima perbedaan, serta dapat hidup berdampingan dengan tenteram dan damai.

Dari halaman Pura Sweta Maha Suci, tampak Masjid Miftahul Huda yang hanya terpisah jalan lingkungan Desa Balun. | Sumber: Kompas.com/Hamzah Arfah
Dari halaman Pura Sweta Maha Suci, tampak Masjid Miftahul Huda yang hanya terpisah jalan lingkungan Desa Balun. | Sumber: Kompas.com/Hamzah Arfah

Masyarakat Desa Balun berhasil mengelaborasikan prinsip moderasi beragama di lingkungan mereka dengan menempatkan segala sesuatu secara proporsional. Mereka memiliki kemampuan untuk memadukan antara teks dan konteks sesuai porsinya.

Prinsip tersebut juga akan memastikan agar umat beragama tetap inklusif, mudah berbaur, beradaptasi, serta bergaul dengan berbagai komunitas yang terlahir di tengah-tengah masyarakat. 

Dengan demikian, moderasi beragama akan mendorong masing-masing umat beragama untuk tidak bersifat ekstrem dan berlebihan dalam menyikapi perbedaan dan keragaman.

Moderasi beragama telah diintegrasikan oleh masyarakat Desa Balun dalam setiap aspek kehidupan mereka dengan sangat baik. Hal itu selaras dengan ucapan Sayyidina Ali bin Abi Thalib, "Mereka yang bukan saudaramu dalam iman adalah saudaramu dalam kemanusiaan."

Desa Balun merupakan wujud peradaban yang secara alamiah berhasil melestarikan nilai-nilai keberagaman dan bisa menjadikannya sebagai instrumen penguat harmonisasi sosial.

Spirit moderasi beragama dalam lingkup kecil tersebut bisa menjadi contoh yang amat ideal tentang bagaimana kita seharusnya merawat toleransi beragama di ekosistem yang sangat heterogen seperti Indonesia.

Moderasi beragama idealnya harus dijadikan sebagai kesadaran kolektif dalam menyikapi segala permasalahan di tengah masyarakat, khususnya oleh umat Islam sebagai penganut agama mayoritas.

Wallahu a’lam bish-shawab.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun