Interaksi sosial (multi agama) di desa kecil ini melahirkan budaya-budaya yang khas. Hal itu menciptakan interpretasi pada simbol-simbol budaya yang berbeda dengan desa lainnya.
Contohnya, dalam momen hajatan, warga non-muslim perempuan biasanya akan mengenakan kerudung dan kaum laki-laki akan mengenakan songkok. Hal ini berarti kerudung dan songkok dimaknai sebagai sebuah simbol budaya yang dikenakan untuk menghormati prosesi hajatan. Bukan sebagai simbol agama atau praktik beragama.
Begitu pula tatkala, misalnya, warga muslim mengenakan udeng dan kamen (sarung bali) dalam momen pengamanan Nyepi. Hal itu bisa dimaknai sebagai simbol budaya dan toleransi tanpa harus mengamini pemahaman agama yang tak sejalan dengan iman mereka.
Alih-alih sebagai penyekat, perbedaan agama justru terbukti menjadi instrumen perekat bagi warga Desa Balun. Dengan terciptanya toleransi, maka masing-masing umat beragama bisa memperlakukan orang lain secara terhormat, mampu menerima perbedaan, serta dapat hidup berdampingan dengan tenteram dan damai.
Masyarakat Desa Balun berhasil mengelaborasikan prinsip moderasi beragama di lingkungan mereka dengan menempatkan segala sesuatu secara proporsional. Mereka memiliki kemampuan untuk memadukan antara teks dan konteks sesuai porsinya.
Prinsip tersebut juga akan memastikan agar umat beragama tetap inklusif, mudah berbaur, beradaptasi, serta bergaul dengan berbagai komunitas yang terlahir di tengah-tengah masyarakat.
Dengan demikian, moderasi beragama akan mendorong masing-masing umat beragama untuk tidak bersifat ekstrem dan berlebihan dalam menyikapi perbedaan dan keragaman.
Moderasi beragama telah diintegrasikan oleh masyarakat Desa Balun dalam setiap aspek kehidupan mereka dengan sangat baik. Hal itu selaras dengan ucapan Sayyidina Ali bin Abi Thalib, "Mereka yang bukan saudaramu dalam iman adalah saudaramu dalam kemanusiaan."
Desa Balun merupakan wujud peradaban yang secara alamiah berhasil melestarikan nilai-nilai keberagaman dan bisa menjadikannya sebagai instrumen penguat harmonisasi sosial.
Spirit moderasi beragama dalam lingkup kecil tersebut bisa menjadi contoh yang amat ideal tentang bagaimana kita seharusnya merawat toleransi beragama di ekosistem yang sangat heterogen seperti Indonesia.