Dalam kurun puluhan tahun ke depan, perkawinan antaretnis akan membuat dikotomi suku tidak berlaku. Pasalnya, banyak warga yang mempunyai garis persilangan atau percampuran antara etnis satu dengan etnis yang lainnya. Seluruh kelompok etnis telah melebur menjadi bangsa Indonesia seutuhnya.
Seiring dengan perkembangan zaman serta dinamika perpolitikan Tanah Air, pemilihan calon presiden yang hanya dilandaskan pada kesamaan identitas, sudah tak relevan lagi untuk diamini.
Prinsip pemilih hari-hari ini, terutama kaum muda, sudah lebih cerdas dan tak mudah didikte atau dibelokkan dengan isu-isu SARA. Mereka tak akan memilih kandidat berdasarkan faktor identitas, tetapi berdasarkan aspek prestasi serta visi dan misi yang ditawarkan oleh para kandidat presiden.
Generasi muda yang diisi para pemilih Milenial serta Gen Z, adalah kelompok yang melek internet yang mempunyai banyak preferensi informasi. Fakta itu membuat mereka sangat berhati-hati dalam menjatuhkan pilihannya.
Bagi pemilih pada umumnya, idealnya aspek kejujuran, kesederhanaan, serta keberpihakan pada rakyat, khususnya rakyat kecil, menjadi hal esensial yang harus diposisikan di atas aspek-aspek lainnya yang tidak relevan.
Tidak penting asal daerah dan etnisnya, jika kandidat presiden bisa menawarkan ide yang akan membawa Indonesia pada kemajuan, maka mereka akan memiliki peluang lebih besar untuk menjadi RI-1.
Rasionalitas semacam itulah yang harus terus dipupuk dan dipromosikan kepada pemilih pemula sebagai edukasi politik yang sehat. Biar bagaimanapun, mereka lah yang kelak akan meneruskan tongkat estafet pemerintahan. Di tangan mereka lah masa depan Indonesia, kita titipkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H