Mohon tunggu...
David Abdullah
David Abdullah Mohon Tunggu... Lainnya - —

Best in Opinion Kompasiana Awards 2021 | Kata, data, fakta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Agar Donasi Tak Ditilap, Kenali Hak-Hak Donatur

6 Juli 2022   12:53 Diperbarui: 6 Juli 2022   12:57 944
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Aksi Cepat Tanggap (ACT). | Sumber: news.ACT.id

Tagar #JanganPercayaACT dan Aksi Cepat Tilep sempat ramai di jagat Twitter usai investigasi yang dilakukan oleh Majalah Tempo (edisi 2 Juli) menemukan adanya indikasi penyelewangan dana dari publik yang digalang Aksi Cepat Tanggap (ACT).

Donasi yang dikumpulkan melalui ACT diduga justru dipakai untuk memenuhi kebutuhan pribadi hingga gaya hidup mewah para petinggi serta keluarganya.

Tak hanya itu, sebagian dari dana umat yang terkumpul juga digunakan untuk menggaji bos-bos ACT dengan nominal mencengangkan. Pucuk pimpinan ACT dikabarkan mendapatkan upah Rp250 juta/bulan dan diberikan fasilitas mobil mewah, seperti Toyota Alphard, Honda CR-V, hingga Mitsubishi Pajero Sport.

Sementara menurut keterangan ACT, mereka mengklaim telah memperbaiki kondisi internal lembaganya dengan melakukan evaluasi dan restrukturisasi sejak Januari 2022 lalu. Mereka turut menyebut bahwa tak semua dugaan itu sesuai dengan fakta sesungguhnya.

Untuk diketahui, sejak tahun 2012 lalu, organisasi yang bergerak dalam bidang sosial dan kemanusiaan tersebut telah bertransformasi diri menjadi lembaga kemanusiaan global, dengan cakupan aktivitas yang jauh lebih luas.

ACT yang berdiri pada 2005, kini telah berkiprah di 47 negara. Selama periode tahun 2020, mereka sudah melakukan 281.000 aksi sosial. Sementara di dalam negeri, kantor cabang dan program ACT telah merambah hingga 30 provinsi dan 100 kabupaten/kota di antero Tanah Air.

Tidak sebatas kegiatan tanggap darurat, ACT juga melebarkan sayap aktivitasnya, mulai dari membuat program-program pemulihan pascabencana, pemberdayaan publik, serta kegiatan berbasis spiritual, taruhlah Qurban, Zakat, dan Wakaf.

Dugaan Pelanggaran

Dalam laporan berjudul "Kantong Bocor Dana Umat" yang ditulis Majalah Tempo, terungkap bahwa kondisi finansial ACT diduga dalam kondisi boncos sejak akhir tahun lalu akibat adanya penyelewengan dana donasi. Mereka dilaporkan sempat memotong gaji karyawannya. Kondisi itu juga makin diperburuk dengan macetnya sejumlah program.

Kredibilitas investigasi Majalah Tempo diperkuat Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi (PPATK), yang menemukan dugaan penyelewengan dana oleh ACT. Bahkan, PPATK juga menyebut adanya indikasi penilapan tidak hanya untuk kebutuhan pribadi, tetapi juga terkait dengan aktivitas terlarang.

Patut diduga, "aktivitas terlarang" yang dimaksud oleh PPATK, mengarah pada pendanaan aksi ekstremisme. Pasalnya, temuan PPATK sudah dikirim ke Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiterror Polri untuk diproses lebih lanjut.

Menurut informasi yang tercantum pada situs web ACT, Yayasan ACT memang telah memiliki izin PUB (Pengumpulan Uang dan Barang) dari Kementerian Sosial. Sehingga, aktivitas pengumpulan donasinya sudah sah secara hukum.

Hanya saja, terkait pengumpulan zakat, ACT belum mengantongi izin. Kendati sudah berdiri sejak 2005, ternyata ACT tidak terdaftar dalam Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) sebagai Lembaga Amil Zakat (LAZ). Dengan demikian, yayasan yang diinisiasi Ahyudin itu seharusnya tidak diperbolehkan untuk menghimpun zakat, infak, dan sedekah dari publik.

Lantas, mengapa ACT selama ini bisa menghimpun dana zakat, infak, dan sedekah meski tidak mengantongi izin dari Baznas?

Selain itu, Presiden ACT, Ibnu Khajar, mengakui lembaganya mengambil 13,7% dari donasi yang terkumpul untuk biaya operasional, seperti gaji pegawai, dll. Adapun pemotongan itu, menurutnya, dilakukan sejak 2017 hingga 2021.

Padahal, bila merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 29 Tahun 1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan, pembiayaaan terkait usaha pengumpulan donasi paling banyak 10% dari total sumbangan yang terkumpul.

Nominal yang dipangkas ACT itu sudah melampaui batas wajar. Dengan angka donasi yang mencapai puluhan milyar per tahun, selisih 3,7% adalah nominal yang sangat besar jika diakumulasikan. Dalih mereka, pemotongan itu sah-sah saja jika dibandingkan dengan nominal pemotongan dana zakat yang mencapai maksimal 12,5% (1/8 nilai total zakat). 

Asumsi itu tentu makin membuat publik heran lantaran ACT bukanlah LAZ yang memiliki izin. Lembaga kemanusiaan bukan perusahaan yang mengejar profit untuk memperkaya para pengurusnya.

Dana masyarakat yang seyogyanya bisa digunakan oleh korban bencana, justru jatuh ke tangan pihak yang tak berhak atau dipangkas secara signifikan untuk biaya operasional, taruhlah menggaji pengurusnya. Tidak elok kiranya untuk mengambil untung di atas tingginya empati dan kedermawanan masyarakat.

Hak-Hak Donatur

Sebagai wilayah yang dilalui cincin api, Indonesia menjadi negara yang rawan mengalami bencana. Sehingga, hal itu acap mengundang empati masyarakat untuk ikut dalam meringankan beban saudara-saudaranya yang terdampak bencana alam. Salah satu caranya ialah melalui penggalangan donasi.

Dari situasi itu, muncul suatu kelompok, lembaga, atau entitas yang menampung dana publik guna disalurkan kepada para penyintas. Namun, sayangnya, menurut investigasi Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), masih banyak entitas penggalang dana publik yang kerap kali mengesampingkan hak-hak donatur.

Sebagai donatur, masyarakat harus tahu betul aspek-aspek yang harus dipenuhi lembaga penggalang dana publik. Lantas, hak-hak (Donor Bill of Rights) apa saja yang harus diketahui sebagai donatur?

  1. Hak untuk mengetahui visi & misi organisasi penggalang dana serta kemampuan organisasi dalam mengelola dan menyalurkan donasi.
  2. Hak untuk mengetahui para pengurus organisasi penggalang dan serta meminta dewan pengawas untuk menilai tanggung jawab pengurus.
  3. Hak untuk menerima laporan keuangan dari organisasi serta transparansi terkait nominal donasi dan alokasinya.
  4. Hak untuk memperoleh kepastian bahwa donasi digunakan untuk hal-hal yang telah disepakati bersama atau sesuai program.
  5. Hak untuk memperoleh kepastian bahwa donasi yang diberikan akan dikelola secara benar serta sesuai dengan hukum yang berlaku.
  6. Hak untuk diberikan keleluasaan dalam bertanya dan memperoleh jawaban cepat, tepat, dan jujur.

Selain keenam poin di atas, masyarakat juga harus memastikan bahwa yayasan penggalang dana, bukan individu atau entitas yang tidak terdaftar pada badan yang diatur pemerintah.

Hal itu sangat krusial guna mencegah terjadinya aksi penyalahgunaan atau penggunaan dana untuk hal-hal yang tidak relevan atau bahkan melanggar hukum yang berlaku di Indonesia.

Dalam setiap bencana, lazimnya akan diikuti oleh banyaknya penggalangan bantuan di tengah masyarakat. Sebagai manifestasi partisipasi publik, budaya positif itu merupakan fenomena yang harus diapresiasi dan digalakkan.

Kendati demikian, harus ada penataan, audit, dan pengawasan yang ketat dari pemerintah sehingga dana publik bisa benar-benar diterima dan bermanfaat bagi mereka yang berhak.

Berbagai indikasi penyelewengan dana yang dilakukan oleh ACT, bisa menjadi pelajaran untuk masyarakat Indonesia supaya lebih selektif dalam berdonasi. Jangan sampai rezeki yang kita peroleh dengan cara halal, digunakan untuk hal yang tak bisa dipertanggungjawabkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun