Menurut kabar yang diterima Presiden Zelensky hingga Kamis (24/2) malam waktu setempat, setidaknya 137 warga Ukraina, baik personel militer maupun warga sipil, tewas akibat serangan itu. Sementara 316 warga lainnya terluka.
Konflik yang berpotensi menjadi agresi militer terdahsyat di Eropa sejak Perang Dunia II itu diproyesikan oleh intelijen Amerika Serikat akan merenggut hingga 50.000 jiwa. Ongkos kemanusiaan yang terlampau mahal untuk dibayar.
Bahkan sebelum ekskalasi agresi pada Februari 2022 tersebut, konflik Rusia-Ukraina, yang sudah berjalan delapan tahun terakhir, telah memakan korban puluhan ribu nyawa. Perkiraan jumlah korban tewas bervariasi dari sekitar 14.000 menurut PBB dan 16.000 korban menurut Human Rights Watch.
Dalam konflik yang pecah pada 14 April 2014 ini, tercatat total 3.095 warga sipil yang telah kehilangan nyawanya hingga 30 September 2021. Jumlah itu termasuk 1.841 pria, 1.065 wanita, 152 anak-anak, dan 37 orang dewasa yang tak diketahui jenis kelaminnya.
Selain korban jiwa tersebut, tercatat ada 298 korban tewas dalam tragedi jatuhnya pesawat Malaysia Airlines MH17 yang ditembak separatis pro-Rusia pada 17 Juli 2014 lalu. Sehingga, angka total korban warga sipil dalam konflik berdarah itu mencapai 3.393 jiwa.
Impak selanjutnya, ada lebih dari 7.000 orang terluka akibat konflik dua negara eks Uni Soviet itu. Tercatat ada lebih dari 1,5 juta warga yang menjadi pengungsi dan ada 3 juta orang yang membutuhkan bantuan kemanusiaan. Angka-angka itu belum termasuk agresi yang terbaru.Â
PBB memperkirakan bahwa sekitar 120 ribu warga Ukraina mengungsi akibat operasi militer selama dua hari terakhir. Jumlah itu masih akan terus bertambah menjadi satu hingga lima juta pengungsi mengingat agresi masih berlangsung.Â
Selain menghindari area konflik, ribuan warga Ukraina juga telah melarikan diri dengan melintasi perbatasan Polandia, Rumania, Moldova, serta negara Eropa lainnya yang bisa dijangkau jalur darat.
Dalam konteks pengungsian, perempuan dan anak-anak selalu menjadi pihak yang paling dirugikan dan menanggung beban krisis. Situasi di Ukraina pun tak berbeda. Perempuan dan anak-anak, apalagi yang bepergian seorang sendiri dapat berisiko mengalami eksploitasi dan pelecehan.
Potensi kerusakan lebih lanjut juga akan menghantam infrastruktur Ukraina yang semakin melemah. Ada banyak fasilitas publik seperti permukiman, apartemen, rumah sakit dan sekolah, baik di wilayah yang diperintah Ukraina maupun yang telah memisahkan diri, yang mengalami kerusakan parah.