Setelah menuai banyak kritikan karena menaikkan iuran BPJS Kesehatan pada 2020 lalu, pemerintah seolah-olah tak pernah kehabisan cara untuk membuat kejutan di tengah-tengah masyarakat.
Saat ini, pemerintah juga mewajibkan beberapa layanan publik dan birokrasi untuk mensyaratkan kepersertaan BPJS Kesehatan, mulai dari jual-beli tanah, umrah dan haji, hingga mengurus SIM, STNK, dan SKCK. Aturan itu akan mulai efektif pada 1 Maret 2022 mendatang.
Kebijakan itu tertuang dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2022 mengenai Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional. Aturan telah diteken Presiden Jokowi pada 6 Januari 2022.
Adapun Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) diketahui menargetkan 98% penduduk menjadi peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Akan tetapi, hingga 31 Desember 2021, jumlah peserta program tersebut baru mencapai 235 juta penduduk atau 86% total populasi Indonesia.
Atas dasar itu, Presiden Jokowi kemudian menerbitkan Inpres untuk meningkatkan akses pelayanan kesehatan, kepesertaan, serta menjamin keberlanjutan program.
Beliau bahkan sudah meminta lembaga-lembaga terkait untuk menyempurnakan regulasinya guna memastikan pemohon layanan publik di dalam naungan mereka adalah peserta aktif BPJS Kesehatan.
Sejatinya BPJS Kesehatan telah mencatat surplus pada akhir 2021. Menurut Dirut BPJS Kesehatan, Ali Ghufron, surplus itu berhasil diraih lantaran adanya lonjakan signifikan pada aset bersih dana jaminan sosial-kesehatan selama periode 2021.
Tercatat sampai bulan Desember 2021, posisi aset bersih dana jaminan sosial-kesehatan menyentuh Rp39,45 triliun. Angka itu meningkat dibanding periode 2019 dan 2020 yang mencatatkan defisit sebesar Rp51 triliun dan Rp5,69 triliun.
Adapun posisi aset bersih itu, menurut Ghufron, berada dalam kondisi sehat dan mampu untuk memenuhi estimasi 4,83 bulan pembayaran klaim ke depan. Nilai itu sudah melebihi ketentuan minimum yang ditetapkan di dalam PP Nomor 84 Tahun 2015.
Yang lantas menjadi pertanyaan, saat neraca keuangan BPJS Kesehatan telah menunjukkan peningkatan, mengapa negara justru menerbitkan aturan yang tak ada korelasinya sama sekali dengan bidang kesehatan masyarakat?