Untuk merealisasikan megaproyek ambisius itu diperlukan lahan seluas 145 hektar. Menurut SK Gubernur Jawa Tengah Nomor 509/41/2018, Wadas lah yang ideal untuk dijadikan "tumbal". Cakupan areanya bahkan sudah setara 150 lapangan sepak bola standar FIFA.
Ya, tanah surga yang menjadi denyut kehidupan masyarakat Wadas itu yang ditetapkan sebagai target pengerukan andesit–untuk material pembangunan proyek legasi pemerintah.
Sejatinya, jika merujuk pada Peraturan Daerah Kabupaten Purworejo, No. 27/2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), Desa Wadas sudah ditetapkan menjadi kawasan perkebunan. Bukan kawasan pertambangan.
Selain tidak sesuai peruntukan, Amdal-nya pun bermasalah. Meski mendapat penolakan dari masyarakat, Amdal pembangunan Bendungan Bener yang juga mencakup galian di Wadas, tetap lolos kurasi pada Maret 2018. Begitu laporan Walhi.
Dokumen itu sama sekali tak menyebut adanya penolakan masyarakat setempat. Padahal, gaung penolakan warga sudah terdengar sejak tahun 2016 atau 2017.
Perlu dicatat, sesuai Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup, dalam hal penerbitan Amdal, harus melibatkan warga yang terdampak dan pemerhati lingkungan. Bukan aparat desa yang mudah "dikondisikan" oleh pihak yang berkepentingan.
Di samping itu, karena jenis aktivitasnya berbeda, idealnya, Amdal Bendungan Bener dan pengerukan perlu dipisahkan. Dalam hal perizinanan, mekanisme izin penambangan dan izin pembangunan infrastruktur sudah jelas-jelas berbeda.
Alih-alih menolak, Gubernur Jawa Tengah justru menerbitkan Keputusan No.590/41 tahun 2018 tentang Persetujuan Penetapan Lokasi Pengadaan Tanah untuk Pembangunan Bendungan Bener di Kabupaten Purworejo dan Kabupaten Wonosobo. Izin Penetapan Lokasi (IPL) itu telah diperpanjang sekali dan akan berakhir pada 5 Juni mendatang.
Menurut data Organisasi nirlaba Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), sekitar 44 persen daratan Indonesia telah diberikan untuk 8.588 izin usaha tambang. Angka itu seluas 93,36 juta ha, atau sekitar empat kali lipat luas Provinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara.
Penerbitan izin-izin itu menyebabkan dampak yang masif terhadap lingkungan. Lazimnya, lubang-lubang tambang yang menganga dibiarkan tanpa reklamasi. Pembuangan limbah tambangnya pun dapat merusak lingkungan hidup dan mengancam hak asasi manusia.
Selama tahun 2020 lalu, JATAM mencatat terjadi 45 konflik pertambangan yang mengakibatkan 69 orang dikriminalisasi dan lebih dari 700.000 ha lahan rusak.