Mohon tunggu...
David Abdullah
David Abdullah Mohon Tunggu... Lainnya - —

Best in Opinion Kompasiana Awards 2021 | Kata, data, fakta

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Wadas, Tanah Surga yang Terancam Oligarki

12 Februari 2022   11:18 Diperbarui: 13 Februari 2022   09:56 2241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gerakan Masyarakat Peduli Alam Desa Wadas (GEMPA DEWA) menolak penambangan adesit di Desa Wadas Wadas. | Antara Foto/Andreas Fitri Atmoko via Kompas

Gemah ripah loh jinawi. Semboyan yang mendesksripsikan betapa subur bentang alam Nusantara. Konon, tongkat, kayu, hingga batu pun bisa menjadi tanaman.

Berdasarkan narasi itu, lumrah jika ada anggapan, Indonesia lah Atlantis yang pernah dinukil filsuf legendaris Yunani, Plato, dalam karyanya bertajuk Timaeus dan Kritias pada abad keempat SM.

Mungkin, Wadas bisa menjadi salah satu bukti bahwa tanah yang dikandung bumi Indonesia bisa memenuhi seluruh nutrisi untuk setiap tanaman yang dihempaskan di atas punggungnya. Siapa tahu, negeri kita ini lah Atlantis yang hilang itu.

Desa yang terletak di Kecamatan Bener, Purworejo, Jawa Tengah, ini diberkahi unsur hara yang sangat melimpah. Pun, terdapat 27 sumber mata air yang dapat ditemukan di sana. Dengan tanah yang subur, hampir seluruh masyarakatnya berprofesi sebagai petani yang banyak bergantung pada kelestarian alam.

Tidak heran jika komoditas perkebunan rakyat di Desa Wadas amatlah beragam, mulai dari durian, kemukus, jati, akasia, kapulaga, mahoni, cengkeh, vanili, aren, dan lain-lain. Nilai komoditasnya dapat mencapai miliaran.

Dalam survei yang dilakukan Gerakan Masyarakat Peduli Alam Desa Wadas (GEMPA DEWA) bersama Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Yogyakarta, dkk, komoditas yang dibudidayakan di wilayah Desa Wadas bernilai akumulasi tinggi setiap tahun.

Potensi ekonomi di Desa Wadas. | Twitter @jatamnas
Potensi ekonomi di Desa Wadas. | Twitter @jatamnas

Untuk komoditas kebun dapat mencapai Rp8,5 miliar per tahun. Sementara untuk komoditas kayu keras bisa menghasilkan Rp5,1 miliar selama periode yang sama. Oleh karena itu, masyarakat menyebut Desa Wadas bak "tanah surga di bumi".

Warga mengaku, hidup mereka sudah sangat makmur dari hasil alam di tanah kelahirannya. Menjadi petani bagaikan panggilan jiwa bagi mayoritas warga di Desa Wadas. Menurut mereka, individu yang berprofesi sebagai petani adalah orang-orang paling merdeka.

“Mengapa? Semua kerja sendiri, tidak dipengaruhi orang lain. Saya berharap petani Wadas bisa menjadi petani andalan, bisa hidup di atas kaki sendiri,” ucap Muji Mupangat, petani Desa Wadas, seperti dikutip dari Mongabay.

Kalau bukan di kakinya sendiri, di mana lagi warga Wadas memijakkan kakinya?

Anehnya, meski banyak menghasilkan komoditas perkebunan yang beraneka varian, masih muncul tudingan bahwa Desa Wadas merupakan daerah tandus.

“Dulu, Wadas dianggap desa tandus, gersang, tak produktif. Kami tak rela dianggap demikian. Lihat, Wadas, subur. Hasil melimpah, bisa menghasilkan durian bergunung-gunung,” ucap salah satu tokoh Gempadewa, Insin Sutrisno.

Desa Wadas, menurutnya, juga makmur. Banyak petani bisa menyekolahkan anak hingga perguruan tinggi. Tak sedikit pula yang berangkat haji dari hasil tani.

Lantaran kelestarian alam yang masih terjaga, bentang alam di wilayah Wadas menjadi ekosistem bagi spesies burung mulai dari cekak gunung, pipit, tekukur, madu kelapa, bondol haji, elang, dll.

Selain sebagai habitat bagi varian fauna, area perkebunan rakyat di desa itu juga menjadi "tabung oksigen" alami untuk populasi makhluk hidup di sekitarnya.

Sebagai sampel, menilik data dari Forest Digest, satu pohon akasia, yang menjadi salah satu penghuni bukit di Desa Wadas, mampu menghasilkan oksigen mencapai 143,33 kilogram sehari. Ya, per hari!

Maka, dengan asumsi kebutuhan oksigen normal, satu pohon akasia usia dewasa dapat menyuplai oksigen untuk 122-165 orang per harinya. Tak terhitung jumlah pohon di kawasan Wadas yang sanggup menopang denyut nadi kehidupan.

Fakta itu menegaskan betapa krusial menjaga kelestarian alam Desa Wadas, sebagai sumber kehidupan masyarakat global, khususnya bagi warga desa yang terletak di perbukitan itu.

Terancam Oligarki

Ironisnya, potensi besar bumi surga ini terancam oleh pertambangan batuan andesit untuk menopang megaproyek Bendungan Bener. Luas area yang akan dibebaskan guna melanggengkan proyek itu, adalah 124 hektar. Sementara jarak bendungan dari Wadas adalah 10,5 km.

Bertinggi 159 meter, bendungan yang akan menampung aliran dari Sungai Bogowonto itu ditargetkan bisa menjadi konstruksi bendungan tertinggi di Indonesia dan ke-2 di Asia Tenggara. Selain itu, Proyek Strategis Nasional (PSN) yang menelan biaya Rp2,06 triliun ini akan menyuplai kebutuhan air bagi tiga daerah di Jawa Tengah.

Untuk merealisasikan megaproyek ambisius itu diperlukan lahan seluas 145 hektar. Menurut SK Gubernur Jawa Tengah Nomor 509/41/2018, Wadas lah yang ideal untuk dijadikan "tumbal". Cakupan areanya bahkan sudah setara 150 lapangan sepak bola standar FIFA.

Ya, tanah surga yang menjadi denyut kehidupan masyarakat Wadas itu yang ditetapkan sebagai target pengerukan andesit–untuk material pembangunan proyek legasi pemerintah.

Sejatinya, jika merujuk pada Peraturan Daerah Kabupaten Purworejo, No. 27/2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), Desa Wadas sudah ditetapkan menjadi kawasan perkebunan. Bukan kawasan pertambangan.

Selain tidak sesuai peruntukan, Amdal-nya pun bermasalah. Meski mendapat penolakan dari masyarakat, Amdal pembangunan Bendungan Bener yang juga mencakup galian di Wadas, tetap lolos kurasi pada Maret 2018. Begitu laporan Walhi.

Dokumen itu sama sekali tak menyebut adanya penolakan masyarakat setempat. Padahal, gaung penolakan warga sudah terdengar sejak tahun 2016 atau 2017.

Perlu dicatat, sesuai Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup, dalam hal penerbitan Amdal, harus melibatkan warga yang terdampak dan pemerhati lingkungan. Bukan aparat desa yang mudah "dikondisikan" oleh pihak yang berkepentingan.

Di samping itu, karena jenis aktivitasnya berbeda, idealnya, Amdal Bendungan Bener dan pengerukan perlu dipisahkan. Dalam hal perizinanan, mekanisme izin penambangan dan izin pembangunan infrastruktur sudah jelas-jelas berbeda.

Alih-alih menolak, Gubernur Jawa Tengah justru menerbitkan Keputusan No.590/41 tahun 2018 tentang Persetujuan Penetapan Lokasi Pengadaan Tanah untuk Pembangunan Bendungan Bener di Kabupaten Purworejo dan Kabupaten Wonosobo. Izin Penetapan Lokasi (IPL) itu telah diperpanjang sekali dan akan berakhir pada 5 Juni mendatang.

Menurut data Organisasi nirlaba Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), sekitar 44 persen daratan Indonesia telah diberikan untuk 8.588 izin usaha tambang. Angka itu seluas 93,36 juta ha, atau sekitar empat kali lipat luas Provinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara.

Penerbitan izin-izin itu menyebabkan dampak yang masif terhadap lingkungan. Lazimnya, lubang-lubang tambang yang menganga dibiarkan tanpa reklamasi. Pembuangan limbah tambangnya pun dapat merusak lingkungan hidup dan mengancam hak asasi manusia.

Selama tahun 2020 lalu, JATAM mencatat terjadi 45 konflik pertambangan yang mengakibatkan 69 orang dikriminalisasi dan lebih dari 700.000 ha lahan rusak.

Jumlah itu meningkat dibanding tahun 2019 dengan 11 konflik. Sehingga, total konflik tambang yang muncul pada era kepemimpinan Presiden Joko Widodo sejak 2014 adalah 116 kasus.

Hendaknya pemerintah berkaca dari data yang dilaporkan oleh JATAM itu sebelum melanjutkan pembangunan Bendungan Bener. Sebab, ada nasib ratusan warga dan lingkungan yang akan terancam jika quarry di Desa Wadas tetap dieksekusi.

Jalan Tengah

Selain dapat merusak kelestarian alam, aktivitas penambangan juga berpotensi merusak lahan pertanian. Terlebih lagi, mayoritas warga bermata pencaharian sebagai petani.

Oleh sebab itu, segala upaya gigih yang dilakukan warga Desa Wadas merupakan reaksi yang wajar guna menyikapi situasi yang dapat mengancam hajat hidupnya.

Meskipun begitu, sejatinya mereka tidak melawan program pemerintah. Sejak awal, yang mereka khawatirkan adalah penambangan quarry yang mengancam masa depan anak cucu mereka.

Mayoritas warga Desa Wadas bersikeras menolak penambangan di bumi mereka. Berbagai upaya untuk mencegah adanya eksploitasi di tanah kelahirannya pun sudah mereka lakukan, mulai dari upaya hukum, unjuk rasa, dialog, hingga pagar manusia.

Mereka juga sudah menolak kompensasi ganti untung senilai minimal Rp120.000 per meter persegi dari pemerintah, lantaran memang bukan materi yang mereka butuhkan.

Dalam hal ini, cara represif tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Yang terjadi malah sebaliknya. Penangkapan warga Wadas oleh aparat menimbulkan konflik berkepanjangan dan berpotensi terjadi pelanggaran HAM.

Sebagai jalan tengah, menurut saya, agar proyek pembangunan bendungan tetap bisa berjalan dan pada waktu yang sama tak sampai merampas hak hidup warga Desa Wadas, penambangan bebatuan andesit hendaknya dilakukan di area lain.

Dengan luas wilayah yang besar, saya yakin, masih banyak daerah lain yang berpotensi mengandung meterial batu andesit di Indonesia. Pemilihan wilayah tak produktif dan tak berpenghuni bisa menjadi opsi terbaik untuk meneken potensi konflik serta dampak ekologi.

Jangan sampai proyek pembangunan infrastruktur merampas hak dasar warga negara untuk bisa hidup aman, tenang, dan sejahtera di tanah kalahirannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun