"Harusnya kena tilang, cuma karena tadi kooperatif. Nurut diarahkan untuk bubar," ungkap Kasat Patroli Jalan Raya Ditlantas Polda Metro Jaya Kompol Sutikno, Senin (24/1/2022).
Peraturannya jelas. Pelanggarannya telah terbukti. Pelakunya sudah tertangkap. Sanksinya pun telah tertulis. Namun, mengapa justru pihak kepolisian sebatas memberi teguran hanya karena mereka kooperatif?
Apakah hal yang sama juga akan berlaku bagi pengendara mobil yang jauh lebih murah saat kedapatan melanggar peraturan lalu lintas di jalan tol? Bukankah peraturan dibuat setara tak peduli status sosial pengemudinya?
Kalau pelanggaran yang dilakukan oleh mobil mewah seperti itu terus dibiarkan, akan menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum di atas lintasan aspal. Orang-orang kaya itu bisa merasa punya privilese untuk melakukan aksi yang semena-mena karena mereka tahu petugas hanya akan menegurnya saja.
Hendaknya petugas kepolisian dapat mempertimbangkan untuk memberikan sanksi yang tegas guna menghukum pelanggaran serupa pada kemudian hari. Masyarakat pun masih terus menanti bukti bahwa hukum di negeri ini sudah tidak lagi tajam ke bawah, tetapi tumpul ke atas.
Memiliki mobil mewah dengan banderol selangit memang menjadi impian banyak orang karena dianggap bisa menaikkan status sosial di hadapan masyarakat.
Akan tetapi, jika belajar dari fenomena arogansi kalangan kelas atas ini hendaknya calon pemilik kendaraan membeli mobil mewah sepaket dengan etika. Kalau tidak, aksi-aksi menuver mereka nantinya dapat membahayakan para pengguna jalan lainnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H