Mohon tunggu...
David Abdullah
David Abdullah Mohon Tunggu... Lainnya - —

Best in Opinion Kompasiana Awards 2021 | Kata, data, fakta

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Karut-marut Ibu Kota Negara Baru

24 Januari 2022   12:36 Diperbarui: 24 Januari 2022   12:44 908
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sesak, gerah, macet, banjir, serta polusi menjadi atribut yang menempel erat-erat pada ibu kota Negara Kesatuan Republik Indonesia, Jakarta. Hiruk pikuk aktivitas manusia penghuni ibu kota bahkan sudah mulai terdengar sebelum matahari mulai manampakkan seringainya di ufuk timur.

Dipenuhi oleh sekitar sepuluh juta populasi, belum termasuk kaum pekerja rantau dari seluruh pejuru Nusantara, tak terlalu mengherankan jika Jakarta diliputi atmosfer kegelisahan yang membabi-buta.

Atas dasar itu lah pemerintah kemudian mewacanakan megaproyek prestisius untuk memindahkan ibu kota ke lokasi yang lebih representatif, yang akhirnya ditetapkan di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur (Kaltim).

Bahkan, Peraturan Presiden Nomor 85 Tahun 2021 tentang Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2022 menyebut bahwa IKN telah masuk dalam program prioritas dalam periode 2022.

Dalam kondisi normal, mungkin kebijakan itu merupakan hal wajar sepanjang dana negara mencukupi dan kepentingan masyarakat luas yang jauh lebih krusial juga telah terpenuhi.

Ironisnya, kala pandemi masih melanda, misi pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) yang akan menyita anggaran senilai Rp466 trilun itu terus berlanjut. Padahal, kondisi keuangan negara saar ini sedang berdarah-darah. Utang makin bertambah.

Kabarnya, sebanyak 19 persen atau Rp80 triliun pendanaan berasal dari APBN. Adapun sisanya berasal dari berbagai varian kerja sama dengan pihak swasta dan BUMN.

Agar program-program prioritas seperti penanganan pandemi  Covid-19 dan pemulihan ekonomi tidak sampai dikorbankan, idealnya pemerintah perlu meningkatkan peran swasta dan BUMN dalam pembangunannya. Jangan sampai ada hak-hak masyarakat yang dijadikan "tumbal" proyek.

Pengesahan Kilat RUU IKN
Sekali layar terkembang, pantang surut ke belakang. Guna mendukung ambisi pemerintah, DPR langsung tancap gas dalam mengesahkan RUU IKN menjadi undang-undang (UU) pada sidang paripurna, Selasa (18/1/22). 

Bayangkan, UU IKN yang bakal menjadi landasan hukum utama megaproyek pembangunan episentrum pemerintahan negara bisa rampung hanya dalam kurun 43 hari. Itu pun waktu efektifnya hanya dua pekan. Payung hukum proyek yang akan menyita dana triliunan dengan durasi pembangunan tiga-empat kali masa kepresidenan bisa selesai hanya dalam dua pekan saja!

Proses pembahasan RUU IKN ini sendiri menjadi rekor terkilat dalam sejarah pembuatan undang-undang. Sidangnya pun hanya berlangsung satu malam saja. Hebat bukan?

Saya tiba-tiba teringat Candi Prambanan yang bisa berdiri menjulang hanya dalam tempo semalaman dengan bantuan bangsa jin yang dikendalikan oleh Bandung Bondowoso. Apakah DPR dan pemerintah memang terinspirasi kisah 1000 Candi Prambanan?

Respons kilat DPR itu sejatinya cukup mengejutkan lantaran selama ini mereka terkesan lamban dalam merilis produk hukum esensial. Yang lantas menjadi pertanyaan, apakah mereka benar-benar menyusun UU IKN dengan cermat? Apakah mereka juga sudah melibatkan partisipasi publik yang memadai?

Ada kesan pembahasan RUU IKN terlalu terburu-buru. Adapun draf RUU-nya menyimpan potensi masalah, baik formil maupun materiil. Selain itu, masih banyak substansinya yang belum selesai dibahas. Belum lagi potensi timbulnya masalah lingkungan serta penolakan masyarakat sekitar.

Dampak Lingkungan
Banyak pihak meyakini jika penetapan lokasi IKN dengan luas lahan mencapai 180.965 hektar ini dilakukan secara politis dan tanpa dasar hukum yang jelas.

Agaknya, proses penentuan lokasinya pun tanpa mempertimbangkan daya dukung serta daya tampung lingkungan hidup. Saya khawatir, proyek yang diharapkan dapat menjadi solusi justru akan memicu beragam permasalahan baru.

Kekhawatiran saya diperkuat oleh hasil Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang dirilis sendiri oleh negara. Ada potensi permasalahan lingkungan di kawasan IKN nantinya, mulai dari ancaman pada tata kelola air, flora serta fauna, pencemaran, kerusakan lingkungan hidup, dan risiko perubahan iklim.

Saat ini, Provinsi Kaltim yang dikenal dengan hutan hujan dan populasi orang utan sudah dalam kondisi terancam akibat penggundulan hutan. Kawasan di sekitar lokasi IKN pun telah mengalami deforestasi yang cukup besar. Sehingga, dengan adanya proyek IKN baru itu tentu bakal menambah tekanan dalam lanskap kawasan tersebut.

Padahal, wacana IKN ini bermula dari semakin ruwetnya beragam persoalan di Jakarta, baik dari segi daya dukung lingkungan maupun daya tampung.

Saya menilai, pemerintah sudah angkat tangan, jika bukan lari dari tanggung jawab, sebab gagal dalam menyelesaikan segala problem di Jakarta. Ketika kondisi ibu kota kini masih semrawut, pemerintah justru ingin menciptakan masalah baru di Kaltim.

Tukar Guling dan Amnesti Dosa Oligarki
Kabarnya, lahan IKN yang bakal dibangun berada di lahan-lahan perusahaan sawit, HTI (Hutan Tanaman Industri), serta tambang yang dimiliki kaum oligarki yang gemar merusak hutan dan lahan.

Ada gelagat pemindahan ibu kota menjadi agenda terselubung pemerintah guna menghapuskan dosa-dosa yang telah dilakukan oleh beberapa korporasi yang wilayah konsesinya masuk ke dalam area IKN.

Menurut investigasi JATAM Nasional dan sejumlah lembaga pemerhati lingkungan lain, di kawasan IKN terdapat 162 konsesi tambang, perkebunan sawit, kehutanan, serta PLTU dengan total luas lebih dari 180.000 ha.

Pemerintah sempat menyatakan bahwa lahan itu milik negara dan bisa diambil kapan saja. Namun, apakah mereka mau begitu saja angkat kaki? Lantas, apa kompensasi yang akan didapatkan korporasi pemegang izin lahan di sana?

Penelusuran dalam laporan itu menemukan nama-nama yang berpotensi menjadi penerima manfaat atas proyek tersebut, yaitu para politisi nasional dan lokal, beserta keluarganya yang memiliki konsesi industri ekstraktif.

Alih-alih kepada warga, kemungkinan adanya transaksi akan terjadi dengan pemilik konsesi. Korporasi penguasa lahan akan diuntungkan dan menjadi target transaksi negosiasi pemerintah, termasuk dalam hal pemutihan lubang-lubang bekas tambang yang seharusnya sudah direklamasi.

Tugas guna mereklamasi lubang bekas tambang yang seharusnya dilakukan korporasi, selanjutnya bakal diambil alih pemerintah. Jadi, untuk siapa sebenarnya pembangunan ibu kota negara baru yang perencanaannya serbakilat itu?

Dampak bagi Warga Lokal
Adanya potensi tukar guling, selain rentan korupsi, juga menempatkan masyarakat adat dalam posisi rentan. Masyarakat adat yang berisiko terdampak tidak hanya yang bermukim di kawasan IKN, tetapi juga di wilayah-wilayah lain yang lahannya menjadi target tukar guling lahan konsesi proyek IKN.

Terlebih lagi, UU IKN yang telah disahkan tidak memuat klausul proteksi pada komunitas adat. Padahal, sedikitnya ada 20.000 warga adat yang terdiri dari 19 kelompok di Penajam Paser Utara dan dua kelompok di Kutai Kartanegara bakal mejadi korban megaproyek IKN.

Alih-alih mengangkat hajat hidup entitas adat, UU IKN justru bisa menjadi alat legitimasi perampasan wilayah karena tidak memuat klausul perlindungan masyarakat adat yang terdampak kelak.

Data Bappenas RI memprediksi, sedikitnya ada 1,5 juta orang akan dipaksa migrasi secara bertahap ke IKN di Kaltim untuk menunjang peradaban ibu kota baru. Sehingga, situasi itu akan kian mengasingkan masyarakat adat.

Akibatnya, saat masyarakat adat kehilangan tanah, mereka juga akan kehilangan pekerjaan tradisional mereka. Lambat laun, mereka hanya akan menjadi pengungsi, bahkan jadi budak di tanahnya sendiri.

Potensi Mangkrak
Dengan biaya Rp466 triliun, proyek pembangunan dan pemindahan IKN ke Kaltim tak bisa dilakukan secara instan. Kementerian PPN/Bappenas telah membuat cetak biru tentang itu, dan diperkirakan butuh waktu hingga 20 tahun.

Sebagai akibat panjangnya proses pemindahan, bakal muncul potensi perubahan kebijakan oleh pemerintah selanjutnya yang berkuasa. Terlebih, undang-undang di Tanah Air sangat terbuka untuk direvisi ketika pemerintahan berikutnya berganti. 

Masa jabatan Presiden Jokowi yang akan selesai pada 2024, memicu kekhawatiran soal komitmen pemerintahan untuk membangunan ibu kota baru yang memakan waktu dua dekade itu tidak bakal mangkrak di tengah jalan.

Dalam jangka waktu yang panjang itu, tentunya pemerintahan akan berganti sekitar empat kali, sehingga tak ada jaminan rezim berikutnya mau melanjutkan proyek prestisius itu.

Tingginya ongkos pembangunan itu juga dapat menempatkan proyek IKN setingkat lebih dekat dengan kegagalan. Adanya pandemi juga makin menambah peluang pembangunan IKN baru tak berlanjut ketika berganti pemerintahan.

Oleh karena itu, materi UU IKN hendaknya lebih dicermati lagi untuk mempertimbangkan faktor keberlanjutan pembangunannya yang berkaitan dengan pembiayaan, infrastruktur, risiko, serta kesiapan dan potensi konflik dengan komunitas lokal saat IKN dibangun.

Dipaksakan untuk Legasi?
Selain sejumlah karut-marut yang sudah saya babarkan panjang lebar di atas, proyek serta UU IKN sebetulnya masih bisa digugat di Mahkamah Konstitusi (MA). Banyak subtansinya yang dinilai cacat prosedural. Semuanya serba grasa-grusu.

Tak mengherankan jika muncul dugaan di tengah masyarakat, apakah proyek IKN hanyalah sekadar demi memaksakan penciptaan legasi pada masa pemerintahan Jokowi, yang akan segera berakhir pada 2024 nanti?

Padahal, konsekuensi megaproyek IKN bakal menjadi pekerjaan rumah besar bagi generasi selanjutnya, mulai dari pembiayaan dan risiko pembengkakan utang negara, rusaknya lingkungan, dan potensi lahirnya konflik sosial.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun