Ada gelagat pemindahan ibu kota menjadi agenda terselubung pemerintah guna menghapuskan dosa-dosa yang telah dilakukan oleh beberapa korporasi yang wilayah konsesinya masuk ke dalam area IKN.
Menurut investigasi JATAM Nasional dan sejumlah lembaga pemerhati lingkungan lain, di kawasan IKN terdapat 162 konsesi tambang, perkebunan sawit, kehutanan, serta PLTU dengan total luas lebih dari 180.000 ha.
Pemerintah sempat menyatakan bahwa lahan itu milik negara dan bisa diambil kapan saja. Namun, apakah mereka mau begitu saja angkat kaki? Lantas, apa kompensasi yang akan didapatkan korporasi pemegang izin lahan di sana?
Penelusuran dalam laporan itu menemukan nama-nama yang berpotensi menjadi penerima manfaat atas proyek tersebut, yaitu para politisi nasional dan lokal, beserta keluarganya yang memiliki konsesi industri ekstraktif.
Alih-alih kepada warga, kemungkinan adanya transaksi akan terjadi dengan pemilik konsesi. Korporasi penguasa lahan akan diuntungkan dan menjadi target transaksi negosiasi pemerintah, termasuk dalam hal pemutihan lubang-lubang bekas tambang yang seharusnya sudah direklamasi.
Tugas guna mereklamasi lubang bekas tambang yang seharusnya dilakukan korporasi, selanjutnya bakal diambil alih pemerintah. Jadi, untuk siapa sebenarnya pembangunan ibu kota negara baru yang perencanaannya serbakilat itu?
Dampak bagi Warga Lokal
Adanya potensi tukar guling, selain rentan korupsi, juga menempatkan masyarakat adat dalam posisi rentan. Masyarakat adat yang berisiko terdampak tidak hanya yang bermukim di kawasan IKN, tetapi juga di wilayah-wilayah lain yang lahannya menjadi target tukar guling lahan konsesi proyek IKN.
Terlebih lagi, UU IKN yang telah disahkan tidak memuat klausul proteksi pada komunitas adat. Padahal, sedikitnya ada 20.000 warga adat yang terdiri dari 19 kelompok di Penajam Paser Utara dan dua kelompok di Kutai Kartanegara bakal mejadi korban megaproyek IKN.
Alih-alih mengangkat hajat hidup entitas adat, UU IKN justru bisa menjadi alat legitimasi perampasan wilayah karena tidak memuat klausul perlindungan masyarakat adat yang terdampak kelak.
Data Bappenas RI memprediksi, sedikitnya ada 1,5 juta orang akan dipaksa migrasi secara bertahap ke IKN di Kaltim untuk menunjang peradaban ibu kota baru. Sehingga, situasi itu akan kian mengasingkan masyarakat adat.
Akibatnya, saat masyarakat adat kehilangan tanah, mereka juga akan kehilangan pekerjaan tradisional mereka. Lambat laun, mereka hanya akan menjadi pengungsi, bahkan jadi budak di tanahnya sendiri.