Kebijakan anti-naturalisasi itu juga didukung oleh regulasi yang ditetapkan oleh federasi sepak bola Vietnam (VFF). Mereka "memerangi" adanya para pemain asing di liga. Sejak 2016 sampai detik ini, hanya diijinkan maksimal tiga pemain (2 pemain asing dan 1 naturalisasi) di lapangan.
Perubahan itu dengan perlahan mengubah pola perekrutan pemain asing dan naturalisasi dalam persepakbolaan Vietnam. Sejak 2015 sudah tidak ada lagi klub yang memiliki lebih dari satu pemain naturalisasi. Bahkan, dalam empat tahun terakhir hanya ada empat sampai enam klub yang sama sekali tak memakai jasa pemain naturalisasi.
Selain itu, berkat pembinaan pemain muda yang baik dan berkelanjutan, regulasi anti-naturalisasi ini justru akan makin memperkuat perkembangan talenta muda mereka. VFF tahu betul pemain naturalisasi akan menggerogoti semangat dan mimpi talenta lokal.
Indonesia harus segera belajar dari Vietnam bahwa pembinaan level usia dini (grass root) harus ditata ulang. Shin sudah berada di jalur yang tepat dengan mempercayai para pemain muda dalam Piala AFF 2020 lalu.
PSSI harus mendorong setiap akademi klub agar meningkatkan fasilitasnya. Kelola pula kompetisi pada level bawah. Itu lah yang membuat sebuah negara yang tak lebih luas dari Pulau Sumatra itu bisa sesukses saat ini.
Naturalisasi memang perlu mengingat masih banyak kelemahan yang dimiliki oleh timnas Indonesia. Namun, adanya pemain naturalisasi tak menjadi jaminan sebuah tim bisa memenangkan trofi.
Jika tata kelola sepak bola dan pembinaan talenta mudanya baik, saya optimistis timnas Garuda tidak akan memerlukan produk impor pada masa depan. Sebab, faktanya, keberadaan pemain naturalisasi salama ini tidak berbanding lurus dengan prestasi.
Percaya proses!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H