"Di mana pun aku meletakkan topi, di sanalah rumahku," kata Marvin Gaye pada tahun 1962.Â
Meski sang legenda musik soul itu tidak merujuk pada konteks sepak bola, banyak pesepak bola yang mamakai lirik lagunya itu dalam memilih tim nasional (timnas) yang akan mereka bela.
Entah itu karena faktor keturunan (ius sanguinis), tanah kelahiran (ius soli), atau ingin memperoleh lebih banyak waktu bermain, sudah ada banyak pemain yang berpindah kewarganegaraan agar bisa membela timnas yang didambakan.
Setiap negara memiliki peraturan yang berbeda untuk naturalisasi. Hanya saja, motifnya sangat identik. Lazimnya, negara-negara kecil atau timnas yang mempunyai kelemahan mencolok dalam skuatnya akan memilih naturalisasi guna mengisi lubang-lubang yang ditinggalkan pemain lokal. Bahkan, tim-tim jawara Piala Dunia seperti Spanyol, Jerman, dan Prancis pun pernah memilih jalan pintas serupa.
Marco Senna sempat mengabdi untuk Spanyol guna mengisi pos gelandang petarung (fisik), yang kala itu jarang ditemukan pada pemain La Furia Roja. Ia lebih memilih Spanyol dibanding negara asalnya, Brazil. Begitu pula dengan Diego Costa yang bertipikal bengal untuk memperkuat posisi ujung tombak dalam skuat El Matador.
Adapun kalangan imigran dari Afrika yang awalnya dianggap budak di Prancis, justru bisa memberikan prestasi yang gemilang.Â
Generasi kedua dan ketiga para imigran berhasil mendongkrak skuat Ayam Jantan menjadi raksasa sepak bola Eropa, bahkan dunia. Sebut saja Patrick Viera yang terlahir di Senegal dan Marcel Desailly yang terlahir di Ghana, yang lebih memilih untuk membela Les Blues usai memperoleh paspor.
Fenomena serupa juga ditempuh oleh juara Piala Dunia edisi 2014 ini. Bahkan, ada tiga nama imigran elite yang pernah melambungkan skuat Der Panser. Miroslav Klose dan Lukas Podolski sama-sama dilahirkan di Polandia. Adapun Jerome Boateng membelot dari Ghana untuk membela tim yang sama.
Pada era sepak bola modern, naturalisasi pemain merupakan gejala yang sangat sulit dihindari. Tren naturalisasi berhasil memberikan elemen baru ke panggung sepak bola global. Fenomena itu telah memberikan kesan bahwa naturalisasi adalah hal yang wajar.
Di Asia Tenggara sendiri, naturalisasi menjadi jalan pintas yang paling mudah guna mengangkat pamor timnas. Mereka beramai-ramai mengendus setiap pemain bertalenta yang memiliki ikatan khusus dengan negaranya.
Singapura, misalnya, sukses menjuarai AFF Cup 2004 atas jasa tiga pemain naturalisasi, Danielle Bennett, Itimi Dickson, serta Agu Casmir. Begitu pula dengan Filipina yang mulai ditakuti berkat materi pemain naturalisasinya.
Adapun Indonesia sendiri sejauh ini ada 35 pemain yang berstatus "impor", baik yang mengajukan secara personal, lewat klub, ataupun program dari PSSI. Mereka berasal dari berbagai benua seperti Asia, Afrika, Amerika, hingga Eropa.
Sayangnya, dari seluruh pemain itu, hanya sedikit yang dipakai dalam skuat timnas Garuda. Itu pun hanya beberapa saja yang bisa dikatakan sukses. Sebut saja Cristian Gonzales, Raphael Maitimo, Stefano Lilipaly, Beto Goncalves, hingga Victor Igbonefo yang servisnya kerap diperlukan pelatih Shin Tae-yong.
Meski bisa mengantarkan timnas hingga ke final, mereka gagal memberikan trofi juara. Timnas Garuda selalu berkutat dengan status spesialis runner-up selama beberapa dekade ini. Artinya, naturalisasi tak menjamin raihan prestasi
Berkaca dari fakta itu, tidak heran jika wacana Shin Tae-yong dan PSSI untuk menaturalisai disambut respons beragam oleh publik. Ada yang pro, tetapi banyak pula yang kontra.
Ada yang menganggap bahwa rencana menaturalisasi pemain akan memupus mimpi para pemain asli Indonesia guna memperkuat timnas bangsanya. Sebagian yang lain menganggap naturalisasi lah satu-satunya jimat untuk mengakhiri kutukan puasa gelar.
Sejumlah nama pemain keturunan telah diajukan pelatih asal Korea Selatan itu, yakni Kevin Diks (FC Copenhagen), Sandy Walsh (KV Mechelen), Mees Hilgers (Twente FC), dan Jordi Amat (KAS Eupen).
Lewat jasa keempat nama itu Shin Tae-yong ingin timnas bisa kembali bersaing dan meraih prestasi. Alasan klasik yang acap dijadikan dasar untuk merengkuh kesuksesan melalui jalur instan. Padahal, juru taktik berusia 51 tahun itu pula yang selama ini mengajarkan prinsip "percaya proses".
Banyaknya pemain naturalisasi yang sama sekali tak pernah dipanggil oleh timnas atau hanya mencatatkan penampilan minim, bisa menjadi pelajaran bagi PSSI dalam mengajukan nama pemain untuk dinaturalisasi.
Hanya mendasarkan kebijakan naturalisasi pada ikatan khusus tentu bukan keputusan yang tepat. Menyikapi hal itu, saya sejalan dengan pendapat dari pengamat sepak bola nasional, Muhammad Kusnaeni.
Dalam menaturalisasi pemain, katanya, PSSI perlu menekankan pada prestasi dan relevansi. Terkait prestasi, ia mengatakan apa yang dilakukan Shin sudah tepat. Kualitas keempat pemain bukan main-main dan telah terbukti di kompetisi Eropa. Adapun terkait relevansi, pemain tersebut harus benar-benar punya hubungan khusus dengan Indonesia.
Dalam beberapa tahun terakhir, saya mencium ada gelagat kebijakan naturalisasi yang semata-mata didasarkan pada desakan klub agar mereka bisa menghemat kuota pemain asing dan tidak menyalahi statuta. Klub lah yang menyodorkan nama-nama pemain guna didaftarkan lewat bantuan PSSI. Bukan murni untuk kebutuhan teknis di lapangan. Bisa jadi ada "lobi-lobi" di bawah meja dalam penentuan pemain yang akan dinaturalisasikan.
Regulasi LIB bisa diakali dengan cara mengganti paspor pemain luar negeri. Kabarnya, ada klub yang rela membayar sekitar Rp50 juta guna mengubah status pemain menjadi WNI. Adapun Persib menjadi salah satu klub yang memliki banyak pemain naturalisasi.
Berbeda dari tren naturalisasi pemain pada masa sebelumnya, keempat pesepak bola keturunan itu adalah rekomendasi langsung dari Shin Tae-yong. Saya meyakini, pilihannya telah diputuskan secara cermat dan terukur. Mereka lah yang akan mengisi lubang-lubang yang ditinggalkan pemain lokal.
Dari berbagai partai yang sudah dijalani bersama timnas, Shin Tae-yong sangat mengandalkan kolektivitas pemainnya. Ia kerap memakai skema dasar 4-1-4-1. Saat menyerang, ia akan mengusung formasi 3-2-4-1 atau 3-2-5. Skema itu identik dengan skema andalan Manchester City ala Pep Guardiola.
Ia cenderung gemar menumpuk pemain di tengah, dengan menarik salah satu full back guna bermain lebih ke dalam. Oleh sebab itu, diperlukan sosok pemain serba bisa dalam melakukan transformasi dari satu posisi ke posisi lain. Seorang pemain dengan kontrol bola dan ketenangan tinggi agar lini tengah timnas Garuda lebih kuat dan variatif. Sandy Walsh adalah sosok yang tepat untuk mengisi peran itu sebagai pemain bertipikal versatile.
Adapun kedatangan Jordi Amat dan Mees Hilgers diharapkan bisa menutup kelemahan timnas yang sering kebobolan dalam skema set piece. Dengan postur mencapai 184 cm dan 183 cm, mereka bisa menutup kelemahan itu. Sementara Kevin Diks yang berpostur 184 cm bisa menjadi tandem yang kokoh untuk Elkan Baggott di jantung pertahanan.
Jam terbang yang tinggi di kompetisi benua Eropa juga menjadi faktor penentu penggawa keturunan itu guna dipanggil Shin. Semoga dengan kehadiran mereka, timnas Indonesia dapat berbicara banyak dalam setiap kompetisi.
Meski begitu, langkah naturaliasi juga harus diikuti dengan perbaikan persepakbolaan nasional secara masif dan menyeluruh. Pemain produk naturalisasi memang bisa memberikan opsi serta mengangkat kualitas permainan. Namun, semua hal itu tak akan bekerja efektif tanpa adanya tata kelola sepak bola yang baik dalam program jangka panjang PSSI.
Belajar dari Vietnam
Timnas Vietnam merupakan kesebelasan yang amat menjunjung tinggi idealisme. Betapa tidak, Vietnam mampu menjuarai Piala AFF edisi tahun 2008 dan 2018, tanpa satu pun pemain naturalasasi.
Sensasi sepak bola Vietnam bukan hanya keajaiban, tetapi sebagai hasil strategi sepak bola jangka panjang. Prestasi mereka juga mencerminkan kemajuan Vietnam dalam setiap aspek, yang mana sepak bola adalah bagian yang mudah terlihat dari keseluruhan.
Pelatih dan federasi sepak bola Vietnam sangat mempercayai kemampuan talenta lokal. Timnas Vietnam pada era Park Hang-seo memang telah menjelma menjadi raja di Asia Tenggara. Tentu raihan itu membuat mereka sudah tak perlu lagi melakukan impor pemain.
Kebijakan anti-naturalisasi itu juga didukung oleh regulasi yang ditetapkan oleh federasi sepak bola Vietnam (VFF). Mereka "memerangi" adanya para pemain asing di liga. Sejak 2016 sampai detik ini, hanya diijinkan maksimal tiga pemain (2 pemain asing dan 1 naturalisasi) di lapangan.
Perubahan itu dengan perlahan mengubah pola perekrutan pemain asing dan naturalisasi dalam persepakbolaan Vietnam. Sejak 2015 sudah tidak ada lagi klub yang memiliki lebih dari satu pemain naturalisasi. Bahkan, dalam empat tahun terakhir hanya ada empat sampai enam klub yang sama sekali tak memakai jasa pemain naturalisasi.
Selain itu, berkat pembinaan pemain muda yang baik dan berkelanjutan, regulasi anti-naturalisasi ini justru akan makin memperkuat perkembangan talenta muda mereka. VFF tahu betul pemain naturalisasi akan menggerogoti semangat dan mimpi talenta lokal.
Indonesia harus segera belajar dari Vietnam bahwa pembinaan level usia dini (grass root) harus ditata ulang. Shin sudah berada di jalur yang tepat dengan mempercayai para pemain muda dalam Piala AFF 2020 lalu.
PSSI harus mendorong setiap akademi klub agar meningkatkan fasilitasnya. Kelola pula kompetisi pada level bawah. Itu lah yang membuat sebuah negara yang tak lebih luas dari Pulau Sumatra itu bisa sesukses saat ini.
Naturalisasi memang perlu mengingat masih banyak kelemahan yang dimiliki oleh timnas Indonesia. Namun, adanya pemain naturalisasi tak menjadi jaminan sebuah tim bisa memenangkan trofi.
Jika tata kelola sepak bola dan pembinaan talenta mudanya baik, saya optimistis timnas Garuda tidak akan memerlukan produk impor pada masa depan. Sebab, faktanya, keberadaan pemain naturalisasi salama ini tidak berbanding lurus dengan prestasi.
Percaya proses!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H