Mohon tunggu...
David Abdullah
David Abdullah Mohon Tunggu... Lainnya - —

Best in Opinion Kompasiana Awards 2021 | Kata, data, fakta

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Polri Tanam Kamera di Badan Anggotanya, Buat Apa?

10 Januari 2022   14:27 Diperbarui: 10 Januari 2022   14:28 1019
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kamera badan (body-worn camera) yang dipergunakan Polri. | kompas.com

Ide visioner mencuat di tengah krisis kepercayaan masyarakat terhadap institusi Polri. Walau hasil riset menemukan bahwa body-worn camera tak terlalu efektif guna menekan perilaku 'nakal' polisi, upaya perbaikan kiranya harus tetap dilakukan.

Pada era serba digital, sudah selayaknya inovasi teknologi juga diinjeksikan pada seluruh intitusi negara guna menunjang perbaikan kinerja mereka, salah satunya Polri. Apalagi, di tengah riuhnya polemik yang kerap kali menyeret personel korps Bhayangkara belakangan ini.

Kabarnya, anggota polisi hendak dibekali kamera badan (body-worn camera) untuk menunjang terciptanya akuntabilitas dan transparansi kinerja mereka di lapangan. Program itu sendiri adalah rekomendasi Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) yang akan segera dieksekusi oleh Polri.

Kompolnas menilai, kamera badan bisa mencegah penyalahgunaan wewenang, kekerasan berlebihan, dan perilaku culas. Inovasi itu juga bisa menjadi bagian dari pengawasan dan bukti kinerja polisi kala sedang bertugas. 

"Body-worn camera sangat bagus untuk mengawasi kinerja anggota di lapangan agar tidak melakukan penyimpangan, misalnya agar tidak melakukan kekerasan berlebihan, atau tidak melakukan pungli serta tindakan arogan," kata Juru Bicara Kompolnas, Poengky Indarti, (2/1/2022).

Kehawatiran Poengky sebetulnya sangat beralasan. Sebab, menurut data Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), selama Juni 2020 sampai Mei 2021, telah terjadi 651 kasus kekerasan yang dilakukan anggota polisi. 

Adapun kekerasan yang paling banyak dilakukan anggota adalah penembakan pada penanganan aksi kriminal, yakni sebanyak 390 kasus. Lalu, varian tindak kekerasan lainnya adalah penangkapan sewenang-wenang sebanyak 75 kasus, penganiayaan sebanyak 66 kasus, dan pembubaran paksa sebanyak 58 kasus.

Selain menjadi bagian dari pengawasan kinerja anggotanya, kamera badan juga menjadi representasi Polri yang modern. Penggunaannya akan difokuskan kepada anggota yang bertugas di lapangan atau yang berhadapan dengan publik seperti reserse, sabhara, binmas, brimob, serta satuan lalu lintas.

Sebenarnya Ditlantas Polda Metro Jaya, pada 2019 lalu, sudah mulai membekali anggotanya dengan kamera badan yang dipasang di bagian saku seragam secara terbatas (uji coba). Namun, pelaksanaan kebijakan itu secara nasional baru akan dieksekusi pada tahun 2022 ini.

Bisa jadi kebijakan pemasangan kamera badan juga dipicu oleh maraknya kasus aparat yang bertindak di luar aturan dan mencemarkan nama baik institusi. Tagar #PercumaLaporPolisi yang berkembang di Twitter, agaknya berhasil mendesak Polri guna segera menemukan solusinya.

Mengenal Body-Worn Camera

Alat pantau yang dinamakan body-worn camera (BWC) tak hanya menampilkan live streaming dan merekam video dengan kualitas tinggi, tetapi juga mempunyai kemampuan serba bisa lainnya. Adapun harga untuk satu unit piranti itu dapat mencapai Rp15 juta.

Dilengkapi dengan GPS, kamera canggih ini dapat memantau lokasi anggota polisi ketika menjalankan tugasnya. Baterainya pun dapat beroperasi hingga delapan jam.

Berbekal memori 32 GB, ia diperkirakan dapat merekam video nonstop selama 20 jam. Kamera portabel itu juga dilengkapi fitur inframerah untuk merekam kondisi lapangan pada malam hari.

Dengan koneksi jaringan 4G melalui sim card, selain dapat memberikan pantauan secara real time, BW jUga langsung bisa terhubung ke kantor pusat. Dengan demikian, setiap gerak-gerik personel di lapangan akan diawasi. Lebih kerennya lagi, alat itu tidak bisa dimatikan secara manual sehingga sulit dimanipulasi.

Selain itu, teknologi ini juga dilengkapi fitur canggih berbasis tilang elektronik atau Electronic Traffic Law Enforcement (ETLE). Semua perilaku dan percakapan petugas dan pengemudi yang melanggar akan langsung terekam. Sehingga, akses untuk praktik suap (pungli) bisa ditekan.

Kalau anggota mendapatkan kendala di lapangan serta membutuhkan bantuan, juga terdapat fitur panic button. Sesuai namanya, fitur itu dapat mengirimkan informasi ke back office guna meminta bantuan personel ketika terjebak dalam situasi darurat.

Spesifikasi kamera badan Polantas. | Antaranews.com
Spesifikasi kamera badan Polantas. | Antaranews.com

Nyatanya, kamera badan sudah lazim dipakai oleh anggota polisi di sejumlah negara maju seperti Amerika Serikat dan Inggris. Negara-negara ASEAN seperti Singapura, Malaysia, serta Filipina juga telah mengadopsi teknologi serupa.

Sementara itu, di AS, program ini mulai diterapkan setelah insiden penembakan seorang pria kulit hitam, Michael Brown, pada tahun 2014 lalu. Kasus itu membuat mantan Presiden Barack Obama akhirnya mendanai program kamera badan di 32 negara bagian.

Menurut data Biro Statistik Kehakiman AS, ada 47 persen dari 15.328 lembaga penegak hukum AS yang telah dibekali kamera badan pada 2016 lalu. Fakta itu menegaskan betapa penting peran alat itu untuk mengawasi kinerja aparat.

Problem Kamera Badan

Sebagai warga yang taat hukum, inovasi kamera dadan perlu kita dukung demi terwujudnya perbaikan kinerja anggota kepolisian di Tanah Air. Hanya saja, ada beberapa hal yang perlu dicermati Polri.

Idealnya, Polda Metro Jaya perlu merilis hasil uji coba penggunaan kamera badan kepada publik. Sayangnya, hingga kini, belum ada rilis mengenai efektivitasnya dalam meningkatkan intregitas serta kinerja aparat di lapangan.

Jika efektif, maka penggunaannya perlu didorong guna diterapkan secara luas di antero Nusantara. Kalau tidak, harus ada evaluasi agar penggunaan kamera badan yang menyerap uang rakyat tak berakhir sia-sia. Apakah hasilnya memang sudah sesuai dengan biayanya yang tinggi itu?

Terlebih lagi, sejumlah hasil penelitian menunjukan, kamera badan tidak serta merta efektif mencegah anggota dalam menyalahgunakan kewenangannya.

Sebuah studi berjudul "Evaluating the Effects of Police Body-Worn Cameras: A Randomized Controlled Trial" melakukan percobaan acak penggunaan kamera itu pada 2.224 polisi di Washington D.C, AS.

Dalam studi itu, para peneliti melacak perilaku personel polisi selama tujuh bulan menggunakan data administratif. Hasilnya, piranti ini tidak terlalu efektif dalam memengaruhi perilaku polisi pada berbagai hasil, termasuk pengaduan masyarakat dan penerapan kekerasan. Ternyata penggunaan kamera badan tak sejalan dengan apa yang diharapkan.

Alih-alih meningkatkan integritas polisi, riset bertajuk "Body-Worn Cameras and the Courts: A National Survey of State Prosecutors" justru menunjukkan kecendrungan berbeda.

Penelitian yang diterbitkan pada tahun 2016 lalu itu menemukan bahwa 92,6 persen kantor kejaksaan di yurisdiksi AS, justru lebih banyak memakai rekaman kamera badan sebagai alat bukti dalam menjerat warga. Sementara hanya 8,3 persen saja yang dipakai untuk menjerat polisi yang melanggar kode etik.

Petugas lebih cenderung memandang kamera badan sebagai sebuah alat guna pengumpulan dan perlindungan bukti. Artinya, alat itu malah menjadi momok bagi masyarakat, terlepas apakah warga bersalah atau tidak. Jangan sampai ide kamera badan justru digunakan sebagai alat untuk merepresi yang tak berdosa.

Beberapa studi yang dilakukan di wilayah lain pun kurang lebih menunjukkan hasil yang identik. Oleh sebab itu, hendaknya perlu ada terobosan agar kamera canggih itu bisa bekerja jauh lebih presisi, sesuai dengan tujuan awalnya.

Adanya inovasi "CCTV keliling" ini juga membuka peluang terganggunya privasi publik. Maka dari itu, program kamera badan hendaknya lebih difokuskan guna meningkatkan integritas polisi daripada sebagai medium untuk "memata-matai" warga. Ya, penegakan hukum memang menjadi prioritas utama, tetapi privasi masyarakat juga perlu dijaga.

Biar bagaimanapun, terlepas ada atau tidaknya kamera badan yang digunakan petugas, Polri harus melakukan banyak perbaikan agar pemakaian teknologi itu selaras dengan integritas serta kinerja anggotanya di lapangan.

Harapannya, kamera badan bisa menjadi "sidik jari kedua" yang dapat merekam setiap perilaku anggota kepolisian yang bertugas dalam bentuk digital. Sehingga, angka pelanggaran kode etik oleh aparat dapat ditekan sekecil mungkin. Mereka tentunya akan berpikir ulang jika ingin melakukan tindakan di luar prosedur.

Penggunaan alat ini idealnya juga harus diikuti dengan penindakan tegas kepada personel yang telah terbukti melanggar kode etik. Jika tidak, efektivitas kamera badan yang berbanderol tinggi itu, akan semakin dipertanyakan.

Sebagai masyarakat awam, saya berharap adanya kamera badan bisa membuat Polri menjadi lebih presisi. Sehingga, cita-cita luhur supaya Polri menjadi lembaga yang humanis, profesional, dan menghormati HAM, akan segera terwujud.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun