Golput adalah keniscayaan dalam setiap ajang politik. Eksistensinya tidak dapat dibendung. Angkanya hanya bisa diminimalisir dengan persyaratan: harus ada perbaikan.
Fenomena golput atau golongan putih, sering menyita perhatian dari masa ke masa. Begitu halnya pada ajang Pemilu 2024 mendatang, yang keberadaannya sangat sulit dihindari. Sebab, tidak ada dalam sejarah partisipasi pemilu yang mampu mencapai angka 100 persen.
Jika melirik ke belakang, golput terlahir dari konteks politik yang relatif berbeda ketimbang dengan era sekarang. Banyak pihak menilai bahwa sikap golput sudah kuno dan tidak relevan guna diterapkan saat ini. Pasalnya, Indonesia sudah tidak lagi menerapkan sistem otoriter.
Banyak orang yang mempunyai prinsip politik yang dilandaskan pertimbangan elektoral. Mereka menggunakan premis politik memilih terbaik dari yang terburuk.
Dalam perspektif premis itu, artinya tak ada kandidat yang sempurna. Oleh sebab itu, memilih terbaik dari yang terburuk lebih utama ketimbang golput. Memilih (mencoblos) adalah cara mereka dalam mengurangi risiko terburuk.
Akan tetapi, tentunya prinsip itu tidak berlaku untuk semua orang. Sebagian yang lain lebih memilih golput karena tidak ada kontestan yang dinilai cukup ideal menurut pandangan pribadinya.
Pada masa Orde Baru, gerakan golput sering kali dijadikan sebagai medium perlawanan untuk menggugat sistem politik dan pemerintahan yang tengah berlangsung.
Pada awal tahun 70-an, aksi itu terlahir dari kekecewaan para aktivis terhadap kegagalan pemerintah untuk menggelar hajatan politik yang benar-benar bersih.
Imbasnya, banyak kalangan muda yang memboikot Pemilu 1971. Para pemboikot meminta pengikutnya guna mendatangi TPS untuk ikut nyoblos. Namun, mereka hanya akan mencoblos bagian putih dari surat suara dan bukan gambar partainya. Mereka sengaja melakukan itu agar surat suara mereka tidak dihitung (tidak sah). Dari situlah terminologi golput terlahir.