Meski lukisan yang berjudul "Devolved Parliament" itu dibuatnya pada tahun 2009 silam, makna yang terkandung di dalamnya masih sangat relevan hingga sekarang, bahkan pada masa depan.
Ia seakan menerjemahkan situasi politik Inggris yang kacau karena ulah anggota parlemen, menjadi sebuah magnum opus yang monumental. Agaknya, lukisan itu juga berlaku universal, layaknya kondisi politik di Indonesia saat ini, yang sering diwarnai dengan kebijakan kontroversial para pejabatnya.
Sosok seniman jalanan asal Inggris itu kembali mencuri perhatian publik pada tahun 2018. Banksy berhasil membuat publik terperangah melalui aksi "prank" yang ia buat dalam sebuah acara lelang yang digelar oleh Sotheby's London.
Mural berjudul "Girl with Balloon" tiba-tiba saja bergerak turun keluar bingkai, lantas terpotong menjadi pita-pita kecil usai sesi lelang ditutup. Ternyata, saat ia membuat lukisan tersebut, Banksy juga menyisipkan alat penghancur kertas.
Padahal, lukisan itu sudah laku terjual senilai Rp19,8 miliar. Momen tersebut diunggah Banksy lewat Instagramnya disertai dengan keterangan foto yang mengutip seniman legendaris Spanyol, Pablo Picasso.
"Dorongan untuk menghancurkan juga adalah dorongan kreatif," tulis Banksy.
Banksy mengaku bertanggung jawab terhadap penghancuran tersebut dan membuat judul baru untuk potongan lukisan itu, yakni "Love is in the Bin".
Pemotongan itu dilakukannya sebagai bentuk kritik kepada kolektor seni dan kapitalis yang membeli sebuah lukisan dengan harga yang sulit diterima nalar.
Banksy heran melihat orang yang mau menghamburkan uang untuk membeli 'omong kosong'. Fenomena tingginya minat masyarakat terhadap karya seni seniman legendaris itu dikenal dengan istilah "Banksy's Effect".
Efek Banksy telah membuka jalan bagi seniman jalanan lain untuk diterima di pameran seni dan museum. Daya tarik Banksy mampu menempatkan derajat para seniman jalanan sepadan dengan seniman profesional.