Mereka seolah-olah mengucap selamat kepada atlet yang telah mengharumkan citra bangsa Indonesia. Namun, di balik sandiwara itu, mereka sebetulnya lebih menonjolkan citra diri sendiri. Di balik prestasi orang lain, sebenarnya mereka tengah mengagumi diri mereka sendiri.
Fenomena numpang tenar ala politikus Negeri +62 memiliki kemiripan dengan apa yang disebut oleh sosiolog Amerika Serikat, Erving Goffman, sebagai teori Dramaturgi.
Dalam sistem Dramaturgi, terdapat dua esensi, yaitu konsep front stage dan back stage. Dalam sebuah interaksi, keduanya memiliki koneksi satu sama lain, tetapi berada di area panggung yang berbeda.
Front Stage. Dalam berinteraksi dengan orang lain, mereka mencitrakan dirinya seperti apa yang diinginkannya meliputi sifat, penampilan, dan pola tingkah laku.
Back Stage. Layaknya drama treatrikal, panggung belakang adalah area mereka dapat melepaskan diri dari semua make-up yang dikenakan. Mereka bisa merasa lebih bebas menunjukkan karakter asli dan menjadi diri sendiri tanpa khawatir akan merusak penampilannya.
Sederhananya, ucapan selamat mereka yang tampak di depan publik tak selalu senada dengan tujuan dan agenda yang telah mereka rencanakan di meja-meja belakang panggung.
Politisi dapat memainkan peran dengan cara berbeda-beda. Saat tampil di depan publik, mereka menampilkan citra diri yang berbeda jika dibandingkan dengan yang diperagakan dalam kehidupannya sehari-hari (back stage).
Rasanya akan amat sulit untuk dibantah bahwa munculnya potret wajah mereka dalam momen akbar, seperti Olimpiade, bukan manifestasi dari pencitraan.
Saya tidak bertujuan melarang mereka memberikan selamat kepada atlet yang sudah berjuang dalam mengharumkan nama bangsa. Hanya saja, mereka perlu mengubah budaya numpang tenar (aji mumpung) semacam itu. Kiranya tidak perlu lah sampai mengedit foto sendiri, lalu disejajarkan di samping para atlet.