Memang, popularitas ialah salah satu modal utama bagi para politisi dalam mengarungi kompetisi politik. Banyak kontestan Pemilu yang memfokuskan atensi dan dananya untuk kampanye.
Dana miliaran pun digelontorkan agar wajah mereka bisa menyeringai dalam berbagai bentuk serta saluran. Mereka berharap mampu menang dengan cara membanjiri ruang-ruang milik publik.
Para politikus akan betul-betul menguji kesabaran dan mental kita. Potret wajah mereka akan selalu menghantui di mana pun kita berada, selama seharian penuh. Tidak terbayang, betapa lelah mata dan mental warga +62 yang tidak berdosa.
Tidak hanya puas dengan blusukan dan memajang potret wajah di sudut jalan, momen kemenangan atlet saat meraih medali pun tidak luput menjadi korban hasrat narsistik berlebih politikus +62.
Medali emas di Olimpiade Tokyo 2020 yang disabet oleh pebulutangkis ganda putri kebanggan kita, Greysia Polii dan Apriyani Rahayu, disulap sebagai ajang numpang tenar oleh para politisi yang memiliki agenda tertentu.
Entah mengapa mereka doyan sekali memberikan ucapan selamat sembari memajang wajahnya di samping foto para pahlawan bangsa dalam bidang olahraga seperti Greysia dan Apriyani.
Sama halnya pemasangan reklame dan poster, pemberian ucapan selamat yang dilengkapi potret wajah politikus, tidak lebih dari sekedar wujud glorifikasi.
Strategi kampanye semacam itu adalah pertanda bahwa mereka kurang mampu menempatkan sesuatu pada tempat dan porsi yang seharusnya. Mereka terkesan tidak tulus tatkala memberikan selamat. Mereka masih berharap ada timbal balik berupa popularitas instan.
Fenomena munculnya citra diri para politikus di setiap momen besar adalah wujud narsisisme.
KBBI mendefinisikan narsisisme sebagai mencintai diri sendiri secara berlebihan. Sementara narsistik artinya kepedulian berlebih pada diri sendiri yang ditandai sikap arogan, percaya diri, dan egois.