Harga diri kaum alay mendadak runtuh saat level narsisismenya disaingi para politikus di Negeri +62, yang hobi numpang tenar. Memberi ucapan selamat, tetapi dengan tujuan untuk kampanye.
Berbagai cara ditempuh oleh politisi di Negeri +62 untuk merebut simpati dan dukungan masyarakat luas, mulai dari blusukan ke dalam selokan yang kotor, hingga memajang foto wajahnya yang cetar membahana di setiap sudut jalan.
Andaikan terjun ke dasar jurang dapat memberi garansi naiknya popularitas para politisi secara instan, saya yakin, mereka pasti akan dengan senang hati melakukannya berkali-kali!
Bukan blusukan namanya jika tidak ada kamera yang meliput setiap gerak gerik politikus di ruang publik. Noda kotoran pada kemeja mereka melahirkan sebuah kesan seolah-olah mereka mau bekerja keras demi kemaslahatan warganya.
Ruang-ruang di tepi jalan yang awalnya indah dan bersih, saat ini telah dipenuhi potret senyum palsu pada wajah politisi kontestan Pemilu. Bahkan, penampilan semak belukar terlihat lebih teduh serta menyejukkan ketimbang ekspresi wajah mereka yang penuh dengan sandiwara.
Pepohonan yang hijau nan asri sampai harus dipaku, dirusak, hingga ditebang untuk memberikan tempat khusus bagi pamflet kampanye yang akhirnya akan merusak kelestarian alam.
Bahkan, syahwat narsistik mereka tidak berkurang sedikitpun pada era pandemi. Politikus itu menyempitkan empati dan "sense of crisis" di tengah penderitaan rakyat. Reklame serta baliho berukuran besar masih saja ditebar di sudut-sudut jalanan di berbagai daerah.
Mereka terlampau lihai dalam mencari peluang untuk mengubah kesempitan menjadi kesempatan. Bahkan, bencana pun tidak lupa mereka gunakan untuk melakukan kampanye terselubung.
Aksi politikus yang kelewat barbar itu lazim kita temui pada saat menjelang musim Pemilu tiba. Mereka bersaing, sikut kanan, sikut kiri, untuk merebut predikat 'alay' dalam hal popularitas.