Mohon tunggu...
David Abdullah
David Abdullah Mohon Tunggu... Lainnya - —

Best in Opinion Kompasiana Awards 2021 | Kata, data, fakta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengurai Isi Kepala Kaum yang Tak Percaya Covid-19

15 Juli 2021   11:43 Diperbarui: 15 Juli 2021   19:05 1119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi orang-orang yang tak percaya Covid-19. | (Henry Nicholls/Reuters) via nytimes.com

Sudah setahun lebih pandemi menghajar setiap sendi kehidupan umat manusia di seluruh penjuru dunia. Kita semua sudah jenuh dan sangat lelah, baik secara fisik, mental, maupun finansial.

Detik ini, ratusan ribu orang terbaring lemah. Rumah sakit membludak. Obat-obatan jadi langka. Tenaga kesehatan kalang kabut. Entah sudah berapa juta nyawa manusia melayang begitu saja.

Sudah tidak terhitung yang kehilangan pekerjaan. Yang awalnya berada, jatuh miskin dalam sekejap. Sementara yang sudah miskin sejak awal, kini semakin jelata dan menderita.

Namun ironisnya, di balik penderitaan yang seolah tiada hentinya itu, masih banyak orang yang tidak percaya akan keberadaan Covid-19 di Indonesia.

Sebenarnya semua bukti keberadaanya sudah sangat jelas menganga di depan mata, tetapi mereka lebih memilih abai, bahkan masa bodoh. Bagi mereka, virus korona hanya dramaturgi dan tak lebih dari sekedar sandiwara murahan belaka.

Sebut saja Anji, saudara sepupu saya, sekira 31 tahun, berada dalam barisan mereka yang tidak percaya eksistensi virus asal Wuhan tersebut.

Belum lama ini, dia kehilangan ibunya, yang juga merupakan tante saya. Yang jadi penyebabnya, tak lain yakni Covid-19. Ibunya harus menemui Sang Khalik setelah 2-3 hari menjalani perawatan intensif di bangsal unit gawat darurat.

Meski demikian, kehilangan itu tidak semerta-merta membuatnya percaya akan adanya virus korona. Dia masih tampak asik bepergian keluar rumah tanpa mematuhi protokol kesehatan.

Bahkan, usai pulang dari Jakarta pun, sepupu saya itu tak terlihat menjalani prosedur karantina mandiri. Padahal, Jakarta selama ini adalah episentrum terbesar Covid-19 di Tanah Air.

Ironisnya, kendati dia sudah tahu bahwa sang ayah dan kakaknya berpotensi besar sudah tertular virus korona dari sang ibu, tidak menyurutkan nyalinya untuk tetap keluar-masuk rumah seperti biasa.

Terlebih lagi, fakta bahwa dirinya masih baik-baik saja walau telah terjadi kontak fisik dengan keluarganya, akan semakin memperkuat level ketidakpercayaannya pada SARS-CoV-2 penyebab Covid-19.

Faktanya, Anji tidak lah seorang diri. Di luar sana, masih banyak lagi orang yang mengingkari adanya sebuah virus, yang dapat menggerogoti organ pernapasan para pengidapnya hingga berujung pada kematian.

Hasil survei dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, ada sebanyak 17 persen (45 juta) warga Indonesia tidak mempercayai adanya Covid-19. Angka yang sangat fantastis!

Akan selalu ada landasan di balik setiap keraguan. Untuk itu, kita perlu mengurai isi kepala mereka. Gejala-gejala apa saja yang mungkin memicu penolakan fakta terkait adanya Covid-19 di Tanah Air.

1. Blunder Pemerintah

Peneliti Lembaga Penelitian, Pendidikan, Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) merilis hasil studi mengenai komunikasi politik oleh kabinet asuhan Presiden Joko Widodo sejak pandemi mulai melanda.

Hasilnya, pemerintah sering melakukan blunder (dalam berkomunikasi) selama menghadapi pandemi. Terhitung sejak 1 Januari hingga 5 April 2020 saja, LP3ES menemukan 37 pernyataan blunder dari negara terkait Covid-19.

Pernyataan itu diutarakan oleh berbagai pejabat, dari yang tertinggi hingga level yang lebih rendah, dari Presiden sampai Dirjen Perhubungan.

Dalam fase pra-krisis yang dimulai pada akhir Januari hingga awal Maret 2020, negara dinilai tak serius, menyepelekan, bahkan menolak terhadap kemungkinan masuknya virus korona di Tanah Air.

Penolakan itu akhirnya melahirkan efek domino pada kepercayaan publik terkait adanya pandemi. Kepercayaan mereka pada negara pun akhirnya turut tergerus.

Situasi itu semakin diperburuk oleh sikap pemerintah yang dinilai inkonsisten dan "cherry picking" kala menerapkan aturan penanggulangan pandemi. Misalnya saja, masuknya TKA Cina ketika kasus Covid-19 masih tinggi, pelarangan mudik ketika keran pariwisata dibuka lebar, pendataan kasus Covid-19 yang karut marut, dll.

2. Hoaks

Kominfo mencatat, terdapat 1.735 hoaks tentang Covid-19 yang beredar di media sosial sejak 23 Januari 2020 hingga 12 Juli 2021. Angka itu menegaskan betapa masif sebaran info palsu di tengah masyarakat.

Data sebaran hoaks terkait Covid-19. | Kominfo.go.id
Data sebaran hoaks terkait Covid-19. | Kominfo.go.id
Ada salah satu hoaks yang menyebutkan, jika memang Covid-19 adalah pandemi, seharusnya orang-orang sudah banyak yang mati bergelimpangan.

Terkesan cukup meyakinkan untuk orang awam. Bagi orang-orang yang tidak bijak dalam menyikapi hoaks, klaim seperti itu akan semakin membuat masyarakat tidak percaya adanya Covid-19.

Terlebih, kalau hoaks itu mencatut nama para ahli di bidang kesehatan, contohnya dr. Lois Owien yang belakangan viral atas unggahan kontroversialnya. Maka, dapat dipastikan "penularan" hoaks di tengah masyarakat akan semakin tinggi pula.

3. Teori Konspirasi

Klaim Covid-19 sebagai hasil rekaan elite farmasi dunia merupakan salah satu teori konspirasi yang banyak dipercaya publik. Keyakinan itu dilandaskan pada asumsi bahwa virus korona hanyalah alat untuk mengontrol masyarakat serta mengeruk keuntungan dari keperluan medis seperti vaksin dan obat-obatan.

Akibatnya, muncul sebuah premis jika Covid-19 hanyalah penyakit 'flu biasa' yang dilebih-lebihkan untuk menakuti masyarakat agar mereka mau membeli vaksin serta dikontrol elite global.

Efek teori konspirasi dalam menggerus level kepercayaan publik akan semakin menguat kalau sudah dibumbui dengan hoaks, misalnya hoaks yang mengklaim bahwa vaksin sudah disusupi chip guna mengontrol umat manusia.

4. Pengalaman Pribadi

Seperti halnya Anji, mereka yang merasa sehat kendati terjadi kontak fisik dengan carrier virus, tak percaya Covid-19 akibat pengalaman pribadi yang dialaminya itu.

"Aku ada kontak fisik sama orang-orang yang positif korona nyatanya baik-baik aja. Aku jarang pake masker lho padahal. Masih hidup juga, kan." Begitu kira-kira pemikiran mereka.

Bahkan, kematian anggota keluarganya pun tak dapat mengubah pandangannya. Mereka tidak percaya virus korona sebab mereka tak mengalaminya sendiri (sakit terpapar Covid-19).

5. Kejenuhan

Seperti air panas, setiap manusia juga memiliki titik jenuhnya. Ketika sampai pada level kejenuhan, maka perubahan merupakan sebuah keniscayaan.

Mereka yang awalnya percaya, berubah jadi tak percaya akibat kejenuhan yang ditimbulkan oleh pandemi dan dampak turunannya.

Misalnya saja Anji, yang merasa jenuh lantaran adanya pembatasan kegiatan masyarakat yang diambil pemerintah. Kebijakan itu membuatnya tidak dapat menjalankan usaha. Finansial mampet.

Faktor yang terkait dengan hajat hidup semacam itu akhirnya bisa menggerus kepercayaan publik terhadap eksistensi Covid-19, yang dianggap terlalu 'lebay' dan mengada-ada.

Ilustrasi orang-orang yang tak percaya Covid-19. | (Mark J. Terrill/Associated Press) via latimes.com
Ilustrasi orang-orang yang tak percaya Covid-19. | (Mark J. Terrill/Associated Press) via latimes.com
Seorang Psikolog Sosial bernama Dicky Chresthover Pelupessy, Ph.D., menyebut fenomena masyarakat yang tak percaya dengan Covid-19 erat kaitannya dengan label manusia sebagai makhluk kognitif.

Oleh karena itu, manusia menyerap dan mengolah informasi menurut apa yang diyakini dan diketahui. Pun, bergantung pada disiplin ilmu yang dimiliki.

Covid-19 sendiri masih merupakan hal yang baru sehingga lumrah jika masih banyak orang yang berupaya mengenal dan menyerap data yang beredar.

Ia menambahkan, sejumlah penelitian telah membuktikan, orang yang mudah percaya pada konspirasi termasuk soal Covid-19, lazimnya tidak percaya pada pemerintah yang tengah berkuasa.

Sejatinya masih ada banyak faktor lain, misalnya, masyarakat cenderung lebih percaya dengan penyakit yang dampak serta gejalanya dapat dilihat oleh mata telanjang seperti cacar. Padahal, kasus positif Covid-19 lebih banyak menerpa orang tanpa gejala (OTG) yang dampak fisiknya tidak tampak oleh penglihatan.

Ada pula golongan yang mendasarkan segala sesuatunya di atas pemahaman agama. Mereka memasrahkan seluruh nasibnya kepada Tuhan. Sehingga, ada atau tidaknya pandemi Covid-19 tidak memengaruhi kehidupan dan aktivitas mereka, terlepas percaya atau tidak.

Ketidakpercayaan terhadap eksistensi Covid-19 merupakan pilihan pribadi. Mereka boleh-boleh saja meragukan keberadaannya. Asalkan, mereka tetap "harus" menerapkan seluruh protokol kesehatan demi kebaikan bersama.

Akan sangat fatal akibatnya kalau kaum yang tak percaya korona yang berjumlah 45 juta kepala tersebut, termasuk orang pembawa (carrier) virus korona. Apalagi, jika keseluruhannya tidak mau menaati protokol Covid-19.

Tak terbayangkan, betapa besar angka kasus penularan yang bisa ditimbulkan akibat aktivitas mereka. Nyawa seluruh rakyat Indonesia menjadi taruhannya!

Ingat pesan Ibu. Pakai masker. Jangan lupa cuci tangan dan selalu jaga jarak, serta hindari kerumunan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun