Faktanya, Anji tidak lah seorang diri. Di luar sana, masih banyak lagi orang yang mengingkari adanya sebuah virus, yang dapat menggerogoti organ pernapasan para pengidapnya hingga berujung pada kematian.
Hasil survei dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, ada sebanyak 17 persen (45 juta) warga Indonesia tidak mempercayai adanya Covid-19. Angka yang sangat fantastis!
Akan selalu ada landasan di balik setiap keraguan. Untuk itu, kita perlu mengurai isi kepala mereka. Gejala-gejala apa saja yang mungkin memicu penolakan fakta terkait adanya Covid-19 di Tanah Air.
1. Blunder Pemerintah
Peneliti Lembaga Penelitian, Pendidikan, Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) merilis hasil studi mengenai komunikasi politik oleh kabinet asuhan Presiden Joko Widodo sejak pandemi mulai melanda.
Hasilnya, pemerintah sering melakukan blunder (dalam berkomunikasi) selama menghadapi pandemi. Terhitung sejak 1 Januari hingga 5 April 2020 saja, LP3ES menemukan 37 pernyataan blunder dari negara terkait Covid-19.
Pernyataan itu diutarakan oleh berbagai pejabat, dari yang tertinggi hingga level yang lebih rendah, dari Presiden sampai Dirjen Perhubungan.
Dalam fase pra-krisis yang dimulai pada akhir Januari hingga awal Maret 2020, negara dinilai tak serius, menyepelekan, bahkan menolak terhadap kemungkinan masuknya virus korona di Tanah Air.
Penolakan itu akhirnya melahirkan efek domino pada kepercayaan publik terkait adanya pandemi. Kepercayaan mereka pada negara pun akhirnya turut tergerus.
Situasi itu semakin diperburuk oleh sikap pemerintah yang dinilai inkonsisten dan "cherry picking" kala menerapkan aturan penanggulangan pandemi. Misalnya saja, masuknya TKA Cina ketika kasus Covid-19 masih tinggi, pelarangan mudik ketika keran pariwisata dibuka lebar, pendataan kasus Covid-19 yang karut marut, dll.
2. Hoaks
Kominfo mencatat, terdapat 1.735 hoaks tentang Covid-19 yang beredar di media sosial sejak 23 Januari 2020 hingga 12 Juli 2021. Angka itu menegaskan betapa masif sebaran info palsu di tengah masyarakat.