Faktor yang terkait dengan hajat hidup semacam itu akhirnya bisa menggerus kepercayaan publik terhadap eksistensi Covid-19, yang dianggap terlalu 'lebay' dan mengada-ada.
Oleh karena itu, manusia menyerap dan mengolah informasi menurut apa yang diyakini dan diketahui. Pun, bergantung pada disiplin ilmu yang dimiliki.
Covid-19 sendiri masih merupakan hal yang baru sehingga lumrah jika masih banyak orang yang berupaya mengenal dan menyerap data yang beredar.
Ia menambahkan, sejumlah penelitian telah membuktikan, orang yang mudah percaya pada konspirasi termasuk soal Covid-19, lazimnya tidak percaya pada pemerintah yang tengah berkuasa.
Sejatinya masih ada banyak faktor lain, misalnya, masyarakat cenderung lebih percaya dengan penyakit yang dampak serta gejalanya dapat dilihat oleh mata telanjang seperti cacar. Padahal, kasus positif Covid-19 lebih banyak menerpa orang tanpa gejala (OTG) yang dampak fisiknya tidak tampak oleh penglihatan.
Ada pula golongan yang mendasarkan segala sesuatunya di atas pemahaman agama. Mereka memasrahkan seluruh nasibnya kepada Tuhan. Sehingga, ada atau tidaknya pandemi Covid-19 tidak memengaruhi kehidupan dan aktivitas mereka, terlepas percaya atau tidak.
Ketidakpercayaan terhadap eksistensi Covid-19 merupakan pilihan pribadi. Mereka boleh-boleh saja meragukan keberadaannya. Asalkan, mereka tetap "harus" menerapkan seluruh protokol kesehatan demi kebaikan bersama.
Akan sangat fatal akibatnya kalau kaum yang tak percaya korona yang berjumlah 45 juta kepala tersebut, termasuk orang pembawa (carrier) virus korona. Apalagi, jika keseluruhannya tidak mau menaati protokol Covid-19.
Tak terbayangkan, betapa besar angka kasus penularan yang bisa ditimbulkan akibat aktivitas mereka. Nyawa seluruh rakyat Indonesia menjadi taruhannya!
Ingat pesan Ibu. Pakai masker. Jangan lupa cuci tangan dan selalu jaga jarak, serta hindari kerumunan.