Sudah setahun lebih pandemi menghajar setiap sendi kehidupan umat manusia di seluruh penjuru dunia. Kita semua sudah jenuh dan sangat lelah, baik secara fisik, mental, maupun finansial.
Detik ini, ratusan ribu orang terbaring lemah. Rumah sakit membludak. Obat-obatan jadi langka. Tenaga kesehatan kalang kabut. Entah sudah berapa juta nyawa manusia melayang begitu saja.
Sudah tidak terhitung yang kehilangan pekerjaan. Yang awalnya berada, jatuh miskin dalam sekejap. Sementara yang sudah miskin sejak awal, kini semakin jelata dan menderita.
Namun ironisnya, di balik penderitaan yang seolah tiada hentinya itu, masih banyak orang yang tidak percaya akan keberadaan Covid-19 di Indonesia.
Sebenarnya semua bukti keberadaanya sudah sangat jelas menganga di depan mata, tetapi mereka lebih memilih abai, bahkan masa bodoh. Bagi mereka, virus korona hanya dramaturgi dan tak lebih dari sekedar sandiwara murahan belaka.
Sebut saja Anji, saudara sepupu saya, sekira 31 tahun, berada dalam barisan mereka yang tidak percaya eksistensi virus asal Wuhan tersebut.
Belum lama ini, dia kehilangan ibunya, yang juga merupakan tante saya. Yang jadi penyebabnya, tak lain yakni Covid-19. Ibunya harus menemui Sang Khalik setelah 2-3 hari menjalani perawatan intensif di bangsal unit gawat darurat.
Meski demikian, kehilangan itu tidak semerta-merta membuatnya percaya akan adanya virus korona. Dia masih tampak asik bepergian keluar rumah tanpa mematuhi protokol kesehatan.
Bahkan, usai pulang dari Jakarta pun, sepupu saya itu tak terlihat menjalani prosedur karantina mandiri. Padahal, Jakarta selama ini adalah episentrum terbesar Covid-19 di Tanah Air.
Ironisnya, kendati dia sudah tahu bahwa sang ayah dan kakaknya berpotensi besar sudah tertular virus korona dari sang ibu, tidak menyurutkan nyalinya untuk tetap keluar-masuk rumah seperti biasa.
Terlebih lagi, fakta bahwa dirinya masih baik-baik saja walau telah terjadi kontak fisik dengan keluarganya, akan semakin memperkuat level ketidakpercayaannya pada SARS-CoV-2 penyebab Covid-19.