Banyak platform belanja dan ojek daring di antero dunia yang kerap dituding telah melakukan praktik perbudakan terhadap pekerjanya. Beberapa pekerja bisa menang di pengadilan, yang lantas diangkat menjadi karyawan tetap. Adakah peluang yang sama di Indonesia?
Platform belanja daring asal Singapura, Shopee, tengah menjadi materi diskusi yang cukup panas di jagat media sosial dalam beberapa pekan terakhir.
Banyak orang yang mengklaim bahwa proses pengiriman paket melalui jasa Shopee Xpress (SPX) memakan waktu yang tidak lazim alias terlalu lambat.
Misteri keterlambatan paket pelanggan pun akhirnya terkuak. Keterlambatan itu diduga diakibatkan oleh aksi protes para kurir SPX yang merasa diperlakukan tak adil oleh perusahaan.
Mereka melakukan aksi mogok bekerja karena ada perubahan sistem upah per paket secara sepihak, yang mana dinilai terlalu rendah oleh para kurir.
Sejak 5 hari yg lalu, rider Shopee Express di daerah Jabodetabek melakukan mogok kerja. Mereka protes karena upahnya diturunkan dari 5.000/paket, 3.500/paket, 2.500/paket, & pada awal April menjadi 1.500/paket.
Mereka tak dapat upah minimum & jaminan sosial.#ShopeeTindasKurir--- Arif Novianto (@arifnovianto_id) April 11, 2021
Informasi tersebut dibagikan oleh Arif Novianto, (@arifnnovianto_id) melalui utas Twitter yang ia unggah pada Sabtu lalu, (11/4/21).
Cuitan itu sendiri telah disukai lebih dari 46 ribu kali, yang menandakan besarnya atensi warga terhadap isu tersebut. Tagar #ShopeeTindasKurir pun sempat menjadi trending topic.
Dalam utasnya, Arif menuturkan imbas kebijakan upah rendah itu yang akhirnya membuat para kurir SPX di Jabodetabek melakukan aksi mogok kerja sejak lima hari yang lalu.
Jika upah kurir diturunkan menjadi 1.500 setiap paket, lanjutnya, maka pekerjaan para kurir akan semakin berat. Pasalnya, rata-rata satu paket yang diantarkan ke tempat pelanggan membutuhkan waktu sepuluh menit. Terlebih lagi, mereka pun harus membeli bensin secara mandiri.
Menurutnya, sepuluh menit per paket itu jika lokasi sang penerima paket jaraknya berdekatan. Sementara yang cukup jauh bisa memakan waktu mencapai 30 menit per paket.
Beban kerja mereka semakin bertambah sebab penerima kadang susah dihubungi, tidak di rumah, atau bisa juga alamatnya salah. Begitu menurut pengakuan Arif.
Selain itu, ia mengatakan bahwa sistem kerja kurir SPX memakai aturan shift dan ada target pengiriman. Dengan demikian, kendati diklaim sebagai mitra, cara kerja mereka sudah seperti pekerja formal atau karyawan tetap.
Tatkala pengiriman paket sedang tinggi-tingginya, terlebih lagi saat promo, maka setiap kurir harus mengirimkan 125 paket per hari. Akibatnya, mereka mau tak mau harus bekerja lebih dari 14 jam.
Dampak dari pemogokan para kurir SPX tersebut, menurut Arif, membuat barang pesanan para pelanggan jadi menumpuk di gudang Shopee. Pemogokan terpaksa dipilih agar manajemen Shopee bersedia memberikan upah yang layak.
Anehnya, meski telah banyak digembor-gemborkan oleh netizen di media sosial, pihak manajamen Shopee menyangkal adanya aksi protes kurir yang disebabkan oleh rendahnya pemberian upah.
Mereka menyebut, keterlambatan paket dipicu oleh kampanye bertajuk "4.4 Mega Shopping Day" yang memicu tingginya lalu lintas paket. Sehingga, menjadi wajar jika terjadi keterlambatan.
Pada Senin (12/4/21), Executive Director Shopee, Handhika Jahja, mengutarakan bahwa operasional SPX sampai detik ini masih tetap berjalan normal dan lancar.
Ia pun turut membantah kabar mengenai rendahnya upah yang dibayarkan kepada para kurirnya. Menurutnya, insentif bagi mitra pengemudi cukup kompetitif pada industri jasa logistik.
Lewat Handhika, Shopee mengklaim ada perlindungan asuransi untuk para kurir sehingga dapat menciptakan lingkungan kerja yang aman serta produktif.
Belajar dari Kasus Uber di Inggris
Seluruh upaya yang dilakukan oleh para kurir SPX sejatinya sudah tepat dengan melakukan aksi mogok kerja walaupun manajemen Shopee membantah adanya aksi tersebut.
Misi kedua mereka pun terbilang sukses saat masalah yang mereka angkat dapat menyita perhatian publik, atau bahkan pemerintah.
Dukungan dari masyarakat sudah dikantongi. Taruhlah jika manajemen Shopee tetap tidak memberikan upah yang lebih layak, tidak ada salahnya mereka belajar dari kasus berikut.
Belum lama ini platfotm ojek daring asal Amerika, Uber, mengalami kekalahan di Mahkamah Agung Inggris atas gugatan yang diajukan oleh 25 pengemudi yang bekerja dalam naungannya.
Pengadilan mewajibkan manajemen Uber mengangkat mereka menjadi karyawan atau pegawai tetap alih-alih sebagai mitra. Status itu juga harus disertai dengan pemenuhan berbagai hak, mulai dari upah minimal, cuti, hingga tunjangan.
Meskipun para pengemudi (mitra) tidak mendapat surat kontrak karyawan tetap, ada beberapa hal yang lantas mendasari keputusan hakim yang dibacakan pada Jumat (19/2/21) lalu tersebut.
Salah satunya Uber secara tidak langsung telah menetapkan berapa gaji yang harus dibayarkan kepada mitra karena mereka yang mengatur tarif. Mitra tidak diijinkan meminta lebih dari nominal yang tertera pada aplikasi.
Uber juga memiliki sejumlah syarat bagi calon pengemudi yang akan mendaftar yang sangat identik dengan kontrak kerja pada umumnya.
Hal itu tercermin dari minimnya pilihan yang dimiliki oleh mitra sebab Uber telah mengatur ketat serta memberikan sanksi apabila mereka terlalu banyak menolak pesanan (order).
Selain itu, mereka juga memberlakukan sistem rating yang menentukan apakah pengemudi masih bisa bekerja atau tidak. Beberapa hal itulah yang menguatkan penilaian bahwa mereka telah bekerja layaknya karyawan (tetap).
Gugatan itu, menurut Wired, berhasil mereka menangkan usai pengadilan ketenagakerjaan Inggris mengabulkan putusan serupa terhadap dua pengemudi Uber lain pada tahun 2016 lalu.
Putusan itu bahkan dikuatkan pula oleh pengadilan yang lebih tinggi, dari level banding sampai kasasi. Bahkan, Wired juga menyatakan bahwa putusan tersebut sebagai "landmark case".
Landmark case, menurut Dosen hukum di jurusan Business Law Binus, Shidarta, bisa menjadi acuan hakim-hakim lain, termasuk dari negara lain.
"Landmark itu bisa saja menembus batas negara," ucap Shidarta kepada Tirto, Senin (22/2/21).
Shidarta juga mengatakan bahwa sebuah yurisprudensi bisa jadi landmark case jika putusannya konsisten diikuti oleh banyak hakim.
Namun, sayangnya, menurut studi yang pernah ia lakukan, hal itu masih "sulit" tercipta di Indonesia lantaran yang mengutip yurisprudensi sering kali berkutat pada orang yang sama.
Terlepas dari itu, menurutnya, tetap saja gugatan serupa patut dicoba. Karena tanpa gugatan, jelas tidak akan ada putusan. Mereka bisa menggugat secara individual atau berkelompok (class action).
Sama seperti di Inggris, kurir SPX juga dikenal dengan status mitra. Akibatnya, mereka tidak memperoleh hak seperti halnya karyawan.
Standar tarif yang ditetapkan bagi kurir acapkali dianggap terlalu kecil sehingga untuk menutupi biaya hidup, mereka harus bekerja melebihi jam kerja normal (lembur).
Kurir SPX juga dikenakan pola kerja regu waktu (shift) dan ada target minimal pengiriman paket setiap harinya. Aturan-aturan itulah yang dinilai sangat identik dengan sistem karyawan tetap.
Status mitra justru sering mengaburkan keadaan sesungguhnya yang mereka alami. Meski disebut dengan mitra, posisi mereka jauh dari kata setara sebab semua aturan ditetapkan oleh perusahaan.
Misi ketiga kurir SPX guna melayangkan gugatan ke pengadilan tampaknya tidak bakal berjalan mudah. Pasalnya, hukum ketenagakerjaan kita justru cenderung "memanjakan" sistem kerja outsourcing yang kerap menempatkan para pekerja pada posisi yang amat rentan dan lemah.
Meski demikian, sejatinya tidak ada yang mustahil jika mereka benar-bemar ingin berusaha memperjuangkan nasibnya.
Pada akhirnya pemerintah kitalah yang bisa menentukan arahnya, kepada siapa mereka akan berpihak, rakyat kecil atau pemodal?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI