Putusan itu bahkan dikuatkan pula oleh pengadilan yang lebih tinggi, dari level banding sampai kasasi. Bahkan, Wired juga menyatakan bahwa putusan tersebut sebagai "landmark case".
Landmark case, menurut Dosen hukum di jurusan Business Law Binus, Shidarta, bisa menjadi acuan hakim-hakim lain, termasuk dari negara lain.
"Landmark itu bisa saja menembus batas negara," ucap Shidarta kepada Tirto, Senin (22/2/21).
Shidarta juga mengatakan bahwa sebuah yurisprudensi bisa jadi landmark case jika putusannya konsisten diikuti oleh banyak hakim.
Namun, sayangnya, menurut studi yang pernah ia lakukan, hal itu masih "sulit" tercipta di Indonesia lantaran yang mengutip yurisprudensi sering kali berkutat pada orang yang sama.
Terlepas dari itu, menurutnya, tetap saja gugatan serupa patut dicoba. Karena tanpa gugatan, jelas tidak akan ada putusan. Mereka bisa menggugat secara individual atau berkelompok (class action).
Sama seperti di Inggris, kurir SPX juga dikenal dengan status mitra. Akibatnya, mereka tidak memperoleh hak seperti halnya karyawan.
Standar tarif yang ditetapkan bagi kurir acapkali dianggap terlalu kecil sehingga untuk menutupi biaya hidup, mereka harus bekerja melebihi jam kerja normal (lembur).
Kurir SPX juga dikenakan pola kerja regu waktu (shift) dan ada target minimal pengiriman paket setiap harinya. Aturan-aturan itulah yang dinilai sangat identik dengan sistem karyawan tetap.
Status mitra justru sering mengaburkan keadaan sesungguhnya yang mereka alami. Meski disebut dengan mitra, posisi mereka jauh dari kata setara sebab semua aturan ditetapkan oleh perusahaan.
Misi ketiga kurir SPX guna melayangkan gugatan ke pengadilan tampaknya tidak bakal berjalan mudah. Pasalnya, hukum ketenagakerjaan kita justru cenderung "memanjakan" sistem kerja outsourcing yang kerap menempatkan para pekerja pada posisi yang amat rentan dan lemah.