Seirama dengan Beth, yang sudah jenius sejak belia. Pada usia 5 tahun, Judit telah membuktikan kejeniusannya ketika dia mampu mengalahkan pecatur hebat lain tanpa harus melihat ke arah papan!
Judit dikenal mempunyai kekuatan dalam permainan posisi, taktik, dan agresif. Dia juga terkenal dengan permainannya yang cepat bak 'kilat'. Tidak peduli siapa saja lawannya akan dia sikat.
Dia menjadi populer karena langkah dan serangan agresif. Dia berkontribusi pada variasi opening King's Bishop's Gambit. Judit gemar mengadopsi Sicilian Defence dan King India Defence kala bermain.
Sang ratu catur memutuskan pensiun dari dunia catur pada 13 Agustus 2014, lantas ditunjuk menjadi pelatih kepala timnas catur putra Hungaria setahum berselang.
Judit meyakini, catur juga bisa berperan penting dalam pendidikan anak. Dalam lima tahun terakhir, ia mengembangkan buku dan program pelatihan untuk anak-anak prasekolah dan sekolah dasar.
Melalui catur mereka bisa mempelajari keterampilan bagi 'kehidupan', seperti mengasah kreativitas, logika, tanggung jawab, serta matematika dan membaca. "Kami tidak membuat perbedaan antara anak laki-laki dan perempuan," ujarnya.
Atas kisah inspiratif dan kesuksesnya di dunia catur, pada 2016, dia ditunjuk jadi duta program PBB yang mempromosikan kesetaraan gender.
Melawan Seksisme
"Saya memiliki perasaan deja-vu ketika menonton serial ini," kata Judit kepada DW, usai menonton gestur realistis Beth dalam film The Queen's Gambit.
Anya Taylor-Joy got to live out her The Queen’s Gambit fantasy and talk all things chess with Judit Polgár, a world-renowned champion who is generally considered the strongest female chess player of all time 👑 pic.twitter.com/0FXXc9RcY2— Netflix (@netflix) December 21, 2020
Sayangnya, menurut Judit, film tersebut tidak cukup menyinggung bagian gelap seorang wanita di dunia catur. Para pria selalu memperlakukan Beth yang tengah naik daun dengan rasa hormat dan tanpa slogan seksis.
"Dalam kehidupan nyata, lebih sulit bagi wanita untuk berprestasi dalam lingkungan seperti itu," jelasnya.
Baik Beth maupun Judit, memang hidup pada masa yang nyaris sama, yakni pada era yang lekat dengan isu seksisme. Kala itu catur identik dengan maskulinitas.