Namun, pada saat yang sama, saya juga khawatir. Kekhawatiran itu bukan tanpa alasan. Pasalnya, sudah banyak warga negara yang memberikan kritik, tetapi justru diamankan oleh aparat penegak hukum atau dihakimi secara berjamaah oleh buzzer kekuasaan di media sosial.
Apa lagi jika bukan UU ITE yang dapat melahirkan beragam tafsir, tergantung pada agenda politik pemerintah. Pasal-pasal karetnya sangat elastis sehingga mampu menempatkan 270 juta kepala sekaligus ke tahanan sewaktu-waktu.
Warga negara yang seharusnya dijamin kebebasan berpendapatnya oleh negara, justru mengalami kriminalisasi. Dalam berekspresi memang harus ada batasnya. Namun, batasan itu sendiri yang sampai kini masih remang-remang di Indonesia.
Penindakan terhadap para kritikus yang dinilai menyinggung pemerintah bukan dilandaskan untuk memberikan edukasi tentang tata cara berekspresi yang baik kepada masyarakat, melainkan sebagai manifestasi pembungkaman.
Sebagai kepala negara, Presiden Jokowi harus memiliki modal jiwa besar dalam menghadapi berbagai kritik tajam yang diarahkan kepada dirinya. Begitu pula dengan pejabat-pejabat negara lainnya.
Ada banyak ruang dalam mengutarakan kritik. Media sosial bahkan memberikan kemudahan dan akses selebar-lebarnya bagi masyarakat dalam menyampaikan aspirasi serta kritik terhadap kebijakan pemerintah. Berikut beberapa cara agar prosesi kritik-mengkritik tidak sampai berujung pada aksi penjemputan paksa.
#1 Fokuskan pada Ide (Kabijakan)
Tidak ada satupun konstitusi yang bisa menghakimi ide, kritik juga termasuk di dalamnya. Sebagai warga negara yang baik, kritik harus difokuskan tehadap kebijakan yang tidak memihak rakyat.
Dengan memfokuskan pada kebijakan, kita akan terhindar dari argumentum ad hominem atau upaya penyerangan atas pribadi seseorang. Cara itu melahirkan kesesetan logika dalam berpendapat.
Jangan sampai menyentuh ranah pribadi ketika melontarkan kritik, termasuk juga kepada pejabat negara. Kita sudah sering disuguhi pemandangan mengenai betapa elastisnya hukum di Indonesia.
Lontarkan kritik pada kebijakan negara yang dinilai telah melenceng dari relnya sehingga mustahil bagi penguasa untuk membungkamnya.
#2 Jangan Menyebut Nama
Apalah arti sebuah nama. Demikian kata pujangga. Akan tetapi, konsep itu tidak berlaku pada konteks kritik-mengkritik. Jangan sebut nama seseorang, terlebih nama pejabat negara, ketika mengkritik.