Saking banyaknya konten beracun yang beredar, sampai-sampai kita kesulitan dalam mengidentisifikasi mana asupan yang mengandung fakta dan mana yang terpapar hoaks dan conflict of interest.
Lebih mengerikannya lagi, menurut hasil penelitian dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) pada 2018, hoaks lebih cepat bersirkulasi dibanding berita yang memuat fakta, di jagat Twitter.
Saat peneliti mengamati "cascade" atau rantai retweet yang tak terputus, sirkulasi hoaks bisa melaju mencapai 10 hingga 20 kali lebih cepat daripada berita faktanya.
Studi itu juga memaparkan sebanyak 70 persen kicauan hoaks lebih banyak di-retweet daripada berita asli. Dari angka itu terdapat jasa dari jari-jemarimu!
Sebagai netizen yang masih waras, kita pasti bertanya-tanya, mengapa Twitter bisa menjadi habitat subur hoaks.
Penelitian bertajuk "The Spread of True and False News Online" memaparkan bahwa Twitter menjadi ekosistem subur hoaks sebab kita mengaksesnya sebagai sumber utama berita. Layaknya bisnis, di mana ada konsumen, di sana ada pasar.
Tentunya kamu pernah merasa jengkel oleh kicauan-kicauan sampah, baik dari kubu #1 ataupun kubu #2 ketika musim pemilu tiba, terutama saat pilpres. Tak hanya itu, ujaran beracun lain juga bisa datang dari akun buzzer, selebtwit, dan bocah labil yang gemar menebar hoaks, sensasi, dan pembodohan.
Di tengah pandemi Covid-19 sekalipun, hoaks masih banyak dijumpai. Melihat hal itu, sejak 18 Maret 2020 lalu, Twitter mencatat sudah menghapus lebih dari 1.100 cuitan hoaks terkait virus korona.
Selain itu, Twitter juga akan menandai kicauan yang mengandung hoaks, baik yang terkait Covid-19 maupun yang tak sesuai regulasi mereka, taruhlah hoaks serta glorifikasi kekerasan yang pernah diutarakan oleh eks presiden AS, Donald Trump, belum lama ini.
Hari ini (26/1/2021), Twitter baru merilis layanan bernama Birdwatch yang dipakai sebagai periksa fakta berbasis komunitas atau crowdsources dari para pengguna.
Sayangnya, fitur yang masih dalam fase uji coba itu baru tersedia di AS. Langkah itu tampaknya sebagai wujud akumulasi dari kondisi politik yang terjadi di sana. Puncaknya, mereka sampai memblokir permanen akun Twitter pribadi Trump.