Gray menjadi sorotan karena lewat akun twitter pribadinya (@kristentootie), ia mengampanyekan Bali sebagai destinasi yang akomodatif, salah satunya sangat ramah terhadap kaum LGBT.
Benarkah Bali merupakan tempat yang ramah terhadap komunitas LGBT?
Melalui penulusuran singkat memakai Google, dapat ditemukan ratusan ribu, bahkan jutaan hasil, kala mengetikkan kata kunci bali gay friendly destination yang menunjukkan berbagai destinasi wisata populer bagi kaum LGBT di Bali.
Hasil penelusuran Google tersebut dapat mengindikasikan bahwa Bali merupakan destinasi yang memang ramah terhadap wisatawan LGBT. Namun, hal itu kiranya belum cukup meyakinkan jika kita tidak mengidentifikasinya.
Sebuah agen perjalanan yang berkantor di Inggris, Out of Office, menawarkan Seminyak sebagai salah satu destinasi wisata yang ramah bagi kaum LGBT di daftar layanan mereka. Keramahan yang dimaksud meliputi berbagai amenitas di area wisata, mulai dari tempat hiburan, penginapan, hingga tempat makan.
Sebagaimana yang tercantum di situs web mereka, Out of Office memang mengkhususkan layanan mereka bagi kaum LGBT seperti kegiatan wisata, safari, hingga pernikahan sesama jenis.
Di Bali selatan dan Ubud, pasangan LGBT memiliki sedikit kekhawatiran karena orang Bali bersahaja. Jika tidak, masih ada hiburan malam yang ramah LGBT di wilayah Seminyak, dan tidak ada bagian Bali yang harus dihindari oleh mereka.
Kampanye Lonely Planet bisa menjadi legetimasi bahwa Bali memang benar-benar surganya kaum LGBT dari seluruh penjuru dunia. Namun, jika hal tersebut belum mampu mengubah persepsi kita, mungkin pengakuan dari seorang warga Bali berikut bisa membantu.
Kepada Merdeka.com seorang supir taksi bernama Wayan menuturkan kesaksian pada tahun 2016 lalu. Ingatannya tertuju pada tamu yang pernah ia antar. Lewat kaca spion, ia menyaksikan langsung dua penumpangnya sedang bercumbu.