Mohon tunggu...
David Abdullah
David Abdullah Mohon Tunggu... Lainnya - —

Best in Opinion Kompasiana Awards 2021 | Kata, data, fakta

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

"Social Climber", Spesies yang Bertahan Hidup dengan Memanjat

28 Desember 2020   13:14 Diperbarui: 28 Desember 2020   15:07 926
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi social climber. | Alysse Asilo esquiremag.ph

Seperti halnya Pan troglodytes, ras Homo sapiens pun memanjat guna bertahan hidup. Lantas, apa yang sebenarnya manusia panjat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya?

Pan troglodytes atau yang lebih kita kenal dengan simpanse, merupakan klan kera yang memiliki kesamaan DNA mencapai 95 persen dengan makhluk hidup paling superior dan dominan di bumi, manusia.

Analisis itulah yang membuat sejumlah ilmuwan menilai bahwa simpanse ialah entitas paling purba dari Homo sapiens sebelum mengalami proses ovolusi.

Di ekosistem alaminya, santapan utama ras primata itu adalah buah-buahan dan dedaunan. Lazimnya, makanan tersebut hanya berada di pohon yang cukup tinggi sehingga diperlukan keahlian memanjat yang terampil untuk menjangkaunya.

Anatomi tubuh mereka memang didesain khusus untuk menonjolkan kemampuan dalam hal memanjat. Simpanse memiliki jari-jari kaki yang mirip dengan jari-jari tangannya untuk memudahkan mereka memanjat dari pohon satu ke pohon lain.

Tanpa keahlian memanjat, mereka akan mengalami kepunahan karena sebagian besar sumber makanan mereka berada di atas pohon. Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan mereka dapat beradaptasi dengan melahap makanan apapun yang mampu mereka jangkau atau mungkin justru berevolusi menjadi spesies lain.

Rudapithecus, spesies yang diduga nenek moyang manusia. Mereka menegakkan tubuh dan memanjat dengan lengannya seperti simpanse era modern. | John Sibbick / University of Missouri nbcnews.com
Rudapithecus, spesies yang diduga nenek moyang manusia. Mereka menegakkan tubuh dan memanjat dengan lengannya seperti simpanse era modern. | John Sibbick / University of Missouri nbcnews.com
Dalam kurun waktu panjang, simpanse berhasil mengubah keahlian memanjat mereka dengan berjalan menggunakan dua kaki (bidepal) sebagaimana manusia modern. Anggapan itu didasarkan pada penemuan sejumlah fosil oleh ilmuwan.

Di luar polemik teori evolusi, faktanya, manusia juga memanjat sebagai wujud dari mekanisme bertahan hidup. Dalam konteks ini, manusia tidak memanjat secara harfiah, tetapi memanjat dalam aspek sosial (kehidupan masyarakat).

Aristoteles mendeskripsikan manusia sebagai Zoon Politicon atau hewan yang bermasyarakat. Ia menilai bahwa Homo sapiens dikodratkan untuk hidup dalam masyarakat dan saling berinteraksi.

Manusia merupakan makhluk sosial yang memiliki sifat dinamis. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, mereka akan selalu berupaya meningkatkan status sosialnya dengan cara melakukan mobilitas sosial. Salah satu mekanisme peningkatan kelas sosial dari rendah ke tinggi lazim dikenal dengan istilah panjat sosial atau pansos.

Hal itu tidak bisa dipisahkan dari status sosial yang dimiliki oleh seseorang yang meliputi jabatan, kekayaan, keturunan, dan pendidikan. Proses mobilitas sosial akan berimpak pada perubahan struktur sosial dan juga hubungan antar individu dalam masyarakat.

Mengingat kata tersebut sudah melekat dengan pergaulan sehari-hari generasi muda, pada Oktober 2019, KBBI secara resmi memasukkan kata pansos dalam kosakata Bahasa Indonesia.

Pansos, berdasarkan KBBI, adalah usaha yang dilakukan untuk mencitrakan diri sebagai orang yang memiliki status sosial tinggi melalui cara mengunggah foto, tulisan, dan sebagainya di media sosial.

Dalam bahasa Inggris, pansos disebut dengan istilah social climbing. Sementara para pelakunya disebut "parvenue" atau social climber yang diadopsi dari istilah dalam bahasa Prancis parvenu. Artinya, pendatang baru di kelas sosial ekonomi tertentu (borjuis atau bangsawan).

Menurut Cambridge Dictionary, social climbing adalah sebuah tindakan untuk meningkatkan posisi sosial seseorang dengan bersikap sangat ramah kepada orang-orang dengan status sosial yang lebih tinggi.

Sementara dalam buku bertajuk Class in America: An Encyclopedia, Robert E. Weir mendefinisikan social climber sebagai kata hinaan yang ditujukan terhadap mereka yang mencari status sosial lewat perilaku agresif, menjilat, atau patuh.

Sesuai konteks di KBBI, selama ini kita selalu mengidentikkan pansos sebagai hal yang berkonotasi negatif layaknya sebuah simbiosis parasitisme yang bisa merugikan salah satu pihak.

Lazimnya, predikat itu ditujukan kepada siapa saja yang gemar mencari perhatian (caper) di media sosial. Tidak jarang pula label tersebut digunakan oleh selebriti untuk menyerang selebriti lain.

Tujuan mereka yang gemar melakukan pansos di media sosial adalah menjadi terkenal, mendulang pengikut, meraih penonton, dan tentunya endorsement. Demi mewujudkan tujuannya mereka juga rela mendobrak logika dan norma.

Mereka cenderung menyukai hal-hal yang berbau kontroversi dan sensasional di media sosial. Sudah bukan rahasia lagi jika tipe orang seperti itu akan menjalin hubungan hanya untuk mendapat akses terhadap kalangan yang lebih bergengsi atau berkasta sosial lebih tinggi.

Perilaku pansos biasanya muncul karena kurangnya rasa percaya diri dan adanya tendensi yang cukup tinggi untuk selalu membandingkan dirinya sendiri dengan orang lain. Meski pemanjat sosial sekilas terlihat menarik serta mudah bergaul, sejatinya mereka selalu merasa minder.

Atas dasar rasa mindernya, mereka akan menggunakan kehadiran orang lain yang berstatus sosial lebih tinggi darinya guna mendongkrak citra dan rasa percaya diri.

Itulah yang menjadi alasan mereka tidak tertarik membangun relasi pertemanan yang tulus. Pasalnya, jika teman-teman di circle-nya memiliki status sosial yang lebih rendah, mereka tidak akan mampu memuaskan hasrat dan kebutuhannya.

Mereka merasa tidak nyaman, minder, dan khawatir tidak diterima jika tidak tampil glamor sehingga mereka akan melakukan berbagai cara agar terlihat mewah meski harus dipaksakan.

Tangkapan layar dari akun Twitter Cipa @kdyaddict
Tangkapan layar dari akun Twitter Cipa @kdyaddict
"Kalo temenan gausa mandang cantik apa gak nya, gausa mandang hitz ato gak nya. Lo mau temenan apa mau pansos?" Kicau Cipa melalui akun Twitter-nya.

Apa yang dirasakan oleh Cipa merupakan salah satu contoh fenomena pansos yang menjadi candu di ekosistem demokratis ala media sosial.

Ketika circle pertemanan hanya dianggap sebagai panggung untuk meningkatkan status sosial serta aktualisasi diri, bukan dilandaskan pada perasaan yang tulus.

Cipa tidak sendirian. Apa yang dirasakan olehnya juga kerap dirasakan oleh remaja lain seusianya, terutama apa yang dapat kita temukan di media sosial. Pesatnya kemajuan teknologi internet dan media sosial diikuti pula dengan meningkatnya gaya hidup pansos di kalangan remaja.

Kondisi tersebut dapat memicu retaknya relasi pertemanan dan akan melahirkan label "toxic friends" bagi siapa saja yang dianggap sudah melakukan pansos.

Fenomena pansos memiliki kemiripan dengan apa yang dinamakan oleh Erving Goffman sebagai teori Dramaturgi. Yang membedakan adalah konsep itu berlaku bukan hanya bagi pelaku pansos, tetapi juga berlaku untuk semua orang.

Goffman menganggap interaksi sosial manusia tak ubahnya drama teatrikal. Ia mendefinisikan kehidupan masyarakat sebagai sebuah panggung yang dimiliki oleh setiap individu dan mereka semua memainkan perannya masing-masing layaknya sebuah pertunjukan drama.

Dalam sistem Dramaturgi, terdapat dua esensi, yaitu konsep front stage dan back stage. Dalam sebuah interaksi, keduanya mempunyai kaitan satu sama lain, tetapi berada pada area panggung yang berbeda.

Front stage. Dalam berinteraksi dengan orang lain, kita akan menampilkan diri kita seperti apa yang kita inginkan yang meliputi sifat, penampilan, serta gaya bertingkah laku.

Back stage. Layaknya drama treatrikal, panggung belakang adalah area mereka dapat melepaskan diri dari semua make-up yang dikenakan. Mereka akan merasa lebih bebas menunjukkan karakter asli dan menjadi diri sendiri tanpa khawatir akan dapat merusak penampilannya.

Jika dilihat dari kaca mata Goffman, bisa disimpulkan bahwa kita semua sedang memainkan pertunjukam drama dalam tatanan masyarakat. Hal yang sama juga dilakukan oleh para pelaku pansos.

Hierarki kebutuhan Maslow. | Indopositive.org
Hierarki kebutuhan Maslow. | Indopositive.org
Berdasarkan prinsip hierarki kebutuhan oleh Abaraham Maslow, setiap individu memiliki kebutuhan akan penghargaan (esteem needs) dan aktualisasi diri (self-actualization needs) jika kebutuhan yang lebih mendasar telah terpenuhi.

Pansos menjadi salah satu cara bagi para pemanjat sosial untuk memuaskan hasrat kebutuhan tertinggi mereka. Jika seluruh kebutuhan dasar sudah terpenuhi, bukan hal yang mustahil kita yang akan menjadi spesies social climber berikutnya.

Sejatinya pansos adalah naluri alamiah manusia yang bersifat dinamis. Pansos menjadikan kita berbeda dengan spesies lain. Kita hanya perlu berhati-hati saat memanjat tangga sosial agar tak sampai merugikan orang lain dan diri sendiri.

Bisa jadi panjat sosial adalah evolusi tak sempurna manusia yang diturunkan dari spesies sebelumnya. Jika Pan troglodytes memenuhi kebutuhan mereka lewat cara memanjat pohon, maka ras Homo sapiens memenuhi kebutuhan dengan memanjat tangga sosial dalam tatanan masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun