Invasi rumah judi di jagat sepak bola sudah bergulir cukup lama. Eksistensinya dalam permainan adalah berkah sekaligus wabah.
Sepak bola dan perjudian merupakan dua entitas yang sama sekali berbeda. Sebuah paradoks. Melibatkan aktivitas perjudian dalam permainan sebelas versus sebelas sama halnya menanam sel kanker dalam organ vital manusia.
Bagaimana tidak, sepak bola merupakan olahraga yang sangat menjunjung tinggi fair-play dan sportivitas. Sementara judi acapkali menggerogoti dua aspek paling fundamental dalam permainan tersebut.
Ia tidak pernah gagal kala membusukkan banyak aspek dalam The Beautiful Game. Akan tetapi, di sudut lain, perjudian juga memiliki kontribusi besar atas eksistensi klub-klub dalam mengarungi kompetisi.
Penetrasi rumah judi di atas rumput hijau bukan sesuatu hal yang asing. Bahkan, di Inggris, perusahaan judi telah mengiringi langkah mereka sejak tahun 1923 silam. Kontribusi yang paling jelas terlihat dan krusial, yakni menjadi sponsor sejumlah klub profesional di level domestik.
Bagi penggemar klub-klub Liga Inggris, pamandangan logo rumah-rumah judi yang tercantum di kostum tim menjadi konsumsi rutin. Pasalnya, setengah dari tim peserta kasta liga tertinggi di Inggris musim 2020 disponsori oleh perusahaan gambling dari seluruh dunia.
Masifnya invasi perjudian di Liga Inggris membuat mereka memiliki hak eksklusif untuk tampil tak hanya sebatas di jersey pemain, tetapi juga di semua even klub, papan iklan di tepi lapangan, papan skor, bahkan menjadi nama stadion. Selain itu, ada lebih dari 9.000 rumah judi di sana.
Hal itu menegaskan bahwa judi adalah unsur yang selalu ada dalam permainan dan disiarkan ke jutaan pasang mata di Inggris dan di seluruh jagat. Kehadiran rumah judi secara konsisten melahirkan ekosistem dan pengaruh yang kelewat beracun di luar lapangan, terutama bagi generasi penerus bangsa.
Asumsi itu cukup beralasan jika menilik hasil audit Komisi Perjudian pada tahun 2018 lalu, yang mencatat bahwa 55.000 anak berusia 11 hingga 18 tahun di Inggris mengalami kecanduan terhadap judi.
Selain itu, terdapat sekira 430.000 orang telah menjadi pecandu berat judi. Angka itu telah tumbuh secara dramatis selama beberapa tahun terakhir. Hal yang pada akhirnya menjadi biang atas penurunan kondisi finansial masyarakat.
Setelahnya, The Guardian melaporkan, ada dana masyarakat hingga mencapai 14,4 miliar paun yang menguap begitu saja dari meja perjudian Inggris antara April 2017 sampai Maret 2018 atau naik 1,6 miliar paun dari tahun sebelumnya.
Nominal yang terlampau fantastis, yang berhasil membuat mereka menjadi salah satu kekuatan ekonomi paling dominan dalam sepak bola. Penetrasi perusahaan judi yang berwujud kemitraan sponsor, berkontribusi sekitar 70 juta paun per musim di Liga Inggris saja.
Hubungan itu telah terjalin begitu lama sehingga membuat klub-klub merasa dimanjakan oleh uang "haram" dengan nominal besar. Kini mereka kesulitan untuk lepas dari pelukan rumah judi.
Klub-klub peserta Premier League dan Championship berpotensi kehilangan pendapatan mencapai 110 juta paun per tahun jika pemerintah Inggris melarang rumah judi untuk mensponsori mereka.
Regulasi Terkait Judi
Keberadaan rumah judi sebagai sponsor klub sempat memicu polemik. Diskursus tersebut disebabkan oleh otoritas Inggris yang kini tengah meninjau ulang regulasi tentang perjudian.
Sejak 2005, perjudian seolah dibebaskan begitu saja tanpa adanya pembatasan, meski sebelumnya telah dibatasi secara ketat. Salah satu penyebab peninjauan ulang itu adalah kasus kecanduan judi yang sedang merebak di sana. Terlebih lagi, kemajuan teknologi juga membuat perjudian semakin mudah diakses.
Pada awal tahun 2020 ini, Majelis Tinggi Britania Raya (House of Lords) membuat sebuah rekomendasi bahwa bukan hanya sponsor pada kostum tim sepak bola saja yang harus dilarang tahun 2023, tetapi juga tidak mengijinkan adanya iklan judi apapun di seluruh aktivitas olahraga.
Jika rekomendasi tersebut diterima dan diberlakukan, maka ada rentang waktu tiga tahun bagi tim-tim di Inggris untuk segera berinovasi dalam mencari opsi pendanaan lain di luar jagat perjudian.
Otoritas sepak bola sejagat pun mengatur mengenai judi pada Kode Etik FIFA pasal 26, yang mengharamkan keterlibatan para pemain, wasit, pelatih, dan ofisial klub dalam perjudian sepak bola, baik secara langsung maupun tak langsung. Meski begitu, tidak ada larangan rumah judi untuk mensponsori klub.
Sementara di Indonesia sendiri. Aturan yang melarang rumah judi, baik daring maupun luring, sebagai sponsor klub sepak bola baru lahir Februari 2020 lalu dalam surat bernomor 103/LIB/II/2020.
Aturan itu sebenarnya sangat terlambat, mengingat sudah banyak klub Indonesia yang menjalin kerja sama dengan rumah judi misalnya saja Pusamania Borneo FC (Fun88), Persikabo 1973 (Sbotop), serta PSMS Medan (M88).
Terlebih, sudah terlalu banyak skandal pengaturan skor yang telah menyeret petinggi PSSI, wasit, dan pelaku sepak bola, termasuk para pemain.
Keterlibatan Pemain dalam Judi
Meski dilegalkan sabagai sponsor, segala macam perjudian sepak bola menjadi hal terlarang bagi pemain seperti kasus yang menimpa Kieran Trippier yang baru-baru ini terungkap (24/12/2020).
Trippier terbukti mandapat keuntungan finansial lewat kesepakatan transfernya dari Tottenham ke Atletico Madrid pada musim panas 2019 lalu dengan bertaruh dalam bursa judi. Ia membuat keputusan mengejutkan ketika menerima pinangan skuat Diego Simeone senilai 20 juta paun.
Kasus serupa juga pernah dialami oleh Joey Barton, Daniel Sturridge, Andros Townsend, dan sejumlah pemain lain di Liga Inggris yang juga sudah diganjar sanksi larangan bermain dan denda.
Sebelumnya, otoritas sepak bola Italia dan Turki telah melarang rumah judi untuk mensponsori klub. La Liga juga dilaporkan akan mengikuti kebijakan serupa pada musim depan.
Dampak Judi bagi Publik Sepak Bola
Dampak judi tidak sebatas dirasakan di Negeri Ratu Elizabeth saja, melainkan juga hingga ke Indonesia. Liga Inggris merupakan ajang yang paling banyak ditonton di dunia. Menurut laporan dari FIFA, Premier League ditonton hingga 4,7 miliar orang termasuk di Indonesia.
Artinya, logo rumah judi yang menempel di jersey para pemain juga dinikmati oleh publik Nusantara. Logo yang sama juga tercantum di beragam konsol gim sepak bola. Perjudian telah menemani tumbuh-kembang generasi penerus bangsa.
Penampakan logo perusahaan judi secara simultan akan tertanam pada otak anak bahwa perjudian adalah hal yang normal untuk dipraktikkan. Apalagi logo tersebut menempel erat di jersey tim-tim favorit mereka. Hal itu didukung oleh regulasi terkait judi yang amat permisif di negeri ini sebelum lantas dilarang.
Kita patut khawatir bahwa normalisasi perjudian dalam dunia sepak bola akan memengaruhi anak-anak muda hingga mereka beresiko kecanduan pada judi.
Maraknya perjudian di dalam kehidupan masyarakat dapat merusak sistem sosial. Ironisnya, para penjudi di Republik ini justru didominasi oleh lapisan menengah kebawah dengan kondisi ekonomi yang sangat pas-pasan, bahkan kekurangan.
Demi mengadu keberuntungan, sedikit demi sedikit uang di dompet menguap. Harta benda dijual. Rumah beserta tanah digadaikan. Mirisnya, anak dan istri juga dilibatkan sebagai objek taruhan untuk membayar hutang dari kekalahan dalam berjudi. Fenomena itu nyata terjadi!
Mereka yang sudah terjerumus dalam cengkraman perjudian lazimnya akan memakai segala cara agar mempunyai modal untuk berjudi. Dengan harapan mereka mampu menang dan meneguk keuntungan berlipat–meski harapan tersebut kerapkali berakhir hampa.
Pada 2018 lalu, WHO mengklasifikasikan gangguan jiwa terkait adanya kecanduan perilaku, yakni Gambling Disorder alias gangguan berjudi. Klasifikasi itu telah tercantum pada International Statistical Classification of Diseases and Related Health Problems (ICD) XI yang hendak diberlakukan tahun 2022 mendatang.
Alasan WHO memasukkan kecanduan itu ke dalam klasifikasi gangguan jiwa sebab bisa memicu dampak negatif yang besar. Kecanduan pada aktivitas perjudian bisa memengaruhi berbagai aspek pada diri manusia mulai dari biologis, psikologis, ekonomi, fisik, serta sosial.
Selain bisa menimbulkan masalah sosial, seperti penyebab kemiskinan, perceraian, dan mempromosikan budaya kemalasan, kebiasaan judi juga bersifat kriminogen atau pemicu terjadinya kejahatan lain.
Aktivitas perjudian merupakan ancaman yang nyata bagi integritas pelaku sepak bola dan masyarakat secara luas. Hadiah kartu merah adalah jawaban yang paling logis untuk menyikapi beragam bentuk perjudian di atas lapangan hijau.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H