Maraknya perjudian di dalam kehidupan masyarakat dapat merusak sistem sosial. Ironisnya, para penjudi di Republik ini justru didominasi oleh lapisan menengah kebawah dengan kondisi ekonomi yang sangat pas-pasan, bahkan kekurangan.
Demi mengadu keberuntungan, sedikit demi sedikit uang di dompet menguap. Harta benda dijual. Rumah beserta tanah digadaikan. Mirisnya, anak dan istri juga dilibatkan sebagai objek taruhan untuk membayar hutang dari kekalahan dalam berjudi. Fenomena itu nyata terjadi!
Mereka yang sudah terjerumus dalam cengkraman perjudian lazimnya akan memakai segala cara agar mempunyai modal untuk berjudi. Dengan harapan mereka mampu menang dan meneguk keuntungan berlipat–meski harapan tersebut kerapkali berakhir hampa.
Pada 2018 lalu, WHO mengklasifikasikan gangguan jiwa terkait adanya kecanduan perilaku, yakni Gambling Disorder alias gangguan berjudi. Klasifikasi itu telah tercantum pada International Statistical Classification of Diseases and Related Health Problems (ICD) XI yang hendak diberlakukan tahun 2022 mendatang.
Alasan WHO memasukkan kecanduan itu ke dalam klasifikasi gangguan jiwa sebab bisa memicu dampak negatif yang besar. Kecanduan pada aktivitas perjudian bisa memengaruhi berbagai aspek pada diri manusia mulai dari biologis, psikologis, ekonomi, fisik, serta sosial.
Selain bisa menimbulkan masalah sosial, seperti penyebab kemiskinan, perceraian, dan mempromosikan budaya kemalasan, kebiasaan judi juga bersifat kriminogen atau pemicu terjadinya kejahatan lain.
Aktivitas perjudian merupakan ancaman yang nyata bagi integritas pelaku sepak bola dan masyarakat secara luas. Hadiah kartu merah adalah jawaban yang paling logis untuk menyikapi beragam bentuk perjudian di atas lapangan hijau.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H