Kneeling protest saat ini dilakukan oleh orang-orang di seluruh dunia sebagai bagian dari gerakan Black Lives Matter untuk memerangi rasisme.
Gestur atau gerak tubuh memang telah lama menjadi media komunikasi non-verbal yang mampu menyiratkan pesan melibihi apa yang bisa dilakukan media verbal lain.
Dalam orasi, gerak tubuh akan semakin memperkuat pesan-pesan yang hendak disampaikan kepada khalayak. Taruhlah gestur tangan terbuka yang ditunjukkan King saat menggemakan I have a dream kepada 250 ribu para demonstran yang hadir di Lincoln Memorial.
King membuka tangannya lebar-lebar ketika dirinya mengucapkan kata "kita" sebagai simbol bahwa ia setara dengan para pendukungnya. Mereka semua sama sebagaimana harapan yang ia sampaikan, agar orang kulit hitam dan kulit putih dapat duduk sejajar di meja yang sama.
Kala itu King dan para demonstran yang ia pimpin dipaksa berlutut atas tuduhan menggelar aksi tanpa ijin. Lebih dari 250 orang ditahan, termasuk sang aktivis kulit hitam sekaligus pemimpin massa pekerja sayap kanan, Martin Luther King.
"Berlutut bukan hanya suatu tindakan pembangkangan dan perlawanan, tetapi juga penghormatan, berkabung, serta menghormati nyawa yang hilang," kata Chad Williams, ketua Departemen Studi Afro-Amerika di Universitas Brandeis.
Chad menganggap aksi berlutut sebagai hal yang sederhana. Kesederhanaan aksi itu memberinya kekuatan simbolis yang teramat kuat seperti aksi solidritas yang telah bergema di seluruh dunia.
Selain berlutut, massa demonstrasi juga mengepalkan salah satu tangan ke udara. Gestur itu dapat dimaknai sebagai simbol perlawanan dan tekad yang membara.
Apabila "kneeling protest" direfleksikan terhadap tipikal King dalam menggelar aksi, maka sangat jelas terlihat bahwa gestur itu memiliki kesamaan identitas dan pesan, yakni sama-sama dilakukan secara damai dan memantik simpati.
Dibandingkan melawan dengan serangan verbal serupa atau melakukan tindakan anarkis, mereka memilih berlutut sebagai simbol perang melawan rasisme.