Sepak bola masih menjadi gerobak politik yang paling seksi. Apa yang sejatinya mampu dipersembahkan sepak bola untuk syahwat politik?
Sepak bola dan politik itu tak ubahnya api dan asap. Mereka sangat sulit dipisahkan. Keduanya seringkali berjalan beriringan, bahkan bergandengan tangan, walaupun salah satunya kerap diidentikkan sebagai biang kehancuran.
Simbiosis itu sudah berlangsung dalam tempo yang sangat panjang. Hubungan keduanya telah banyak dipengaruhi oleh homogenitas sejarah dan budaya.
Sebelum didapuk sebagai olahraga yang paling merakyat di Indonesia, faktanya, sepak bola telah lama diadopsi menjadi media propaganda politik di beberapa negara dengan kultur Jogo Bonito.
Kemesraan keduanya dapat kita jumpai mulai dari Perang Saudara Spanyol yang mewarnai El Clasico, lantas pertentangan kelas pekerja dalam derbi Le Classique antara Olympique Marseille versus Paris Saint-Germain, sampai jejak sejarah kolonialisme antara Aljazair melawan Prancis atau Brazil versus Portugal.
Andai saja Indonesia termasuk ke dalam jajaran tim elite dunia, rivalitas politis serupa akan tersaji dalam derbi Kompeni antara timnas Merah Putih melawan musuh klasiknya, Merah Putih Biru atau Belanda. Sayangnya, impian itu masih terlalu jauh dari kenyataan. Setidaknya untuk beberapa dekade ke depan.
Dalam konteks tersebut, sepak bola bukan hanya soal permainan sebelas melawan sebelas, tetapi juga menjadi simbol perlawanan yang penuh dengan aroma politik (bukan politik praktis).
Tidak hanya di Eropa, di Indonesia pun sama. Politik kerap "menumpang" pada sepak bola. Hanya saja, ada perbedaan motif yang signifikan antara apa yang terjadi di Benua Biru dan di Tanah Air.
Sebagian besar fenomena Politik dalam sepak bola Nusantara bukan berdasarkan ekspresi pemain atau penggemar, tetapi tokoh-tokoh di luar lapangan hijau yang melakukan infiltrasi untuk menghisap "nektar" dari aktivitas persepakbolaan.Â