Mohon tunggu...
David Abdullah
David Abdullah Mohon Tunggu... Lainnya - —

Best in Opinion Kompasiana Awards 2021 | Kata, data, fakta

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

"Thrifting Culture", Dilema Branded Low Budget Tapi Ilegal

28 November 2020   02:15 Diperbarui: 28 November 2020   11:49 3325
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salvation Army Thirft Store. | Ussfeed.com

Alih-alih membuang baju yang tidak diinginkan atau sudah tidak muat lagi di badan, kita mempunyai pilihan untuk memperjualbelikan pakaian tersebut. Selain ramah lingkungan, kita juga bisa memperoleh uang "jajan" tambahan tanpa perlu banyak modal.

Hal itulah yang lantas menginspirasi adik saya yang masih duduk di bangku kuliah untuk mencoba peruntungan melalui bisnis pakaian preloved secara online untuk menambah uang jajan dan skincare.

Dengan modal yang bisa dibilang sangat kecil, tapi bisa menghasilkan keuntungan yang cukup besar. Taruhlah hanya dengan uang Rp500 ribu saja sebagai modal awal, adik saya dapat membeli 20 helai pakaian untuk dipajang di lapaknya.

Lapak online preloved. | Instagram @still_gorgeous.id
Lapak online preloved. | Instagram @still_gorgeous.id
Pakaian bekas yang didapatkannya dari salah satu pasar barang bekas di kota Surabaya itu kemudian disortir lagi, lantas dicuci bersih. Tak lupa diberikan pewangi. Setelah benar-benar kering, lalu disetrika dengan menambahkan pengharum pakaian.

Tahapan tersebut sangat krusial untuk memastikan kuman, virus, dan bakteri benar-banar mati oleh rangkaian proses pencucian, pengeringan, dan penyetrikaan. Bagi kalian yang membeli pakaian bekas, tahapan itu tidak boleh terlewatkan. Jangan mencoba pakaian secara langsung karena sangat berisiko bagi kesehatan.

Usai melewati proses tersebut, pakaian akan melalui proses sortir ulang, lantas dikemas dengan kemasan yang cantik sebelum dikirim ke pelanggan.

Dari bisnis tersebut, adik saya mampu mengantongi keuntungan mulai 50 hingga 100 persen dari setiap helai pakaian preloved yang terjual. Jauh lebih tinggi dibanding bisnis pakaian baru.

Akan tetapi, dilema kemudian muncul saat pemerintah mempertegas larangan impor pakaian bekas lewat Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 tentang Larangan Impor Pakaian Bekas pada 2015 lalu.

Beleid itu diturunkan sebagai reaksi pemerintah atas penemuan bakteri dan virus pada produk impor pakaian bekas melalui hasil uji lab. Pemerintah juga menganggap impor pakaian bekas bisa berpotensi mematikan produk fashion dalam negeri.

Peraturan itu membuat mereka yang terlibat dalam bisnis pakaian bekas tercekik, sebab pakaian bekas branded berkualitas yang selama ini beredar di pasar mayoritas impor dari luar negeri, seperti dari Jepang, Korea, Singapura, Malaysia, dll.

Terlebih lagi, ribuan orang telah lama menggantungkan hidup mereka dari berjualan "barang sampah" tersebut. Selain itu, pakaian bekas branded juga sudah terlanjur digemari oleh kawula muda Nusantara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun