Kita bisa merasakan sensasi thrifting yang cukup memompa adrenalin ketika saling berebut dan berdesak-desakan dengan pemburu lain di panasnya atmosfir pasar. Sensasi selanjutnya adalah saat menawar barang yang telah kita pilih dengan harga seekonomis mungkin.
Selain itu, thrifting juga dapat melatih kesabaran dan penglihatan. Ya, selain harus bersabar dalam memilah-milah antara yang branded dan yang KW, kita juga dituntut jeli ketika mengamati pakaian bekas yang akan kita bungkus.
Fokus utama kita adalah mencari pakaian bekas bermerek dalam lautan kain tanpa adanya cacat ataupun noda. Pengetahuan kita tentang merek-merek ternama juga diperlukan dalam hal ini.
Northface, Lafuma, Marmot, Mammut, Dickies, Stone Island, Jack Wolfskin, H&M, Berghaus, dan Converse adalah merek-merek yang paling diburu oleh para milenial pecinta second hand.
Kalau mujur, kita bisa mendapatkan doorprize dari merek-merek high class seperti Gucci, Levi's 501, Louis Vitton, Chanel, Polo, Balenciaga, Adidas, atau Nike dengan harga yang terjangkau dan original tentu saja.
Pakaian bekas adalah alternatif bagi mereka yang ingin tetap tampil stylish serta eye-catchy tanpa membuat kantong jebol.
Di era digital, praktik thrifting menjadi semakin mudah. Saat ini sudah banyak lapak-lapak daring pakaian bekas atau lebih popular disebut thrift shop, yang menjajakan beragam produk dengan harga miring.
Cukup pilih barang yang kita inginkan, bayar, dan esok harinya kita sudah bisa mengenakan pakaian-pakaian dari hasil perburuan untuk hang out atau sekedar show off di linimasa Instagram.
Saya sempat membeli pakaian second hand tanpa harus berdesak-desakan di lapak milik teman. Kala itu saya sengaja membeli celana jeans seharga Rp20.000 untuk saya improvisasi (baca: dilubangi). Sayang kalau saya harus melubangi jeans baru, jadi jeans bekas bisa menjadi solusi yang paling tepat sekaligus hemat.
Faktanya, aktivitas thrifting bukanlah sebuah tren yang baru terjadi beberapa tahun belakangan saja. Jika dirunut ke belakang, budaya itu sudah terlahir sejak awal abad ke-19 saat revolusi industri mulai berkembang dari Benua Biru hingga ke Benua Amerika.