Mohon tunggu...
David Abdullah
David Abdullah Mohon Tunggu... Lainnya - —

Best in Opinion Kompasiana Awards 2021 | Kata, data, fakta

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

"Thrifting Culture", Dilema Branded Low Budget Tapi Ilegal

28 November 2020   02:15 Diperbarui: 28 November 2020   11:49 3325
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi lapak pakaian branded bekas (preloved). | Seva.id

Dalam thrifting, setiap pelakunya memerankan sosok Jack Sparrow yang sedang berburu harta karun di lautan pakaian bekas.

Bagi sebagian orang, terminologi "thrift" mungkin masih sangat asing di telinga. Selama ini kita lebih akrab dengan istilah pakaian bekas atau sebutan yang lebih halus dan berkelas, yakni "preloved".

Secara bahasa "thrift" berarti hemat, cermat, atau penghematan. Sementara "thrifty" dapat diartikan sebagai cara menggunakan uang secara hati-hati serta sefisien mungkin.

Dalam konteks thrifting culture, kegiatan berburu pakaian bekas bukan hanya persoalan mendapatkan barang-barang branded semata, melainkan juga tentang sebuah seni dan kepuasan pribadi.

Terdapat perasaan menyenangkan ketika kita berhasil menemukan barang original branded yang sangat langka dan vintage, tetapi dengan banderol yang super-duper miring. Maka tidak berlebihan kiranya jika menyebut "barang-barang sampah" tersebut sebagai harta karun.

Tentu sangat berbeda dibanding ketika membeli barang-barang yang memang sudah banyak dan mudah didapatkan di pasaran. Hanya perlu merogoh uang dari dompet, tanpa hambatan berarti, barang yang kita inginkan siap dibawa pulang.

Namun, kita acapkali harus memendam keinginan dalam-dalam karena barang yang telah lama kita idam-idamkan itu ternyata branded first hand (baru) yang dibanderol dengan harga di luar nalar.

Thrifting bagaikan oase bagi generasi bangsa berdompet miris yang sangat mendambakan barang-barang branded dengan harga yang terlampau miring.

Bagi para pecinta thrifting, ada kenikmatan tersendiri dalam setiap prosesnya, baik ketika sedang berburu maupun saat menawar. Thrifting is kind of art!

Gaya hidup semacam itu dapat menjadi alternatif bagi adrenaline junkies dengan merasakan sensasi "mengobok-obok" pakaian bekas di pasar secara langsung.

Kita bisa merasakan sensasi thrifting yang cukup memompa adrenalin ketika saling berebut dan berdesak-desakan dengan pemburu lain di panasnya atmosfir pasar. Sensasi selanjutnya adalah saat menawar barang yang telah kita pilih dengan harga seekonomis mungkin.

Selain itu, thrifting juga dapat melatih kesabaran dan penglihatan. Ya, selain harus bersabar dalam memilah-milah antara yang branded dan yang KW, kita juga dituntut jeli ketika mengamati pakaian bekas yang akan kita bungkus.

Fokus utama kita adalah mencari pakaian bekas bermerek dalam lautan kain tanpa adanya cacat ataupun noda. Pengetahuan kita tentang merek-merek ternama juga diperlukan dalam hal ini.

Northface, Lafuma, Marmot, Mammut, Dickies, Stone Island, Jack Wolfskin, H&M, Berghaus, dan Converse adalah merek-merek yang paling diburu oleh para milenial pecinta second hand.

Kalau mujur, kita bisa mendapatkan doorprize dari merek-merek high class seperti Gucci, Levi's 501, Louis Vitton, Chanel, Polo, Balenciaga, Adidas, atau Nike dengan harga yang terjangkau dan original tentu saja.

Pakaian bekas adalah alternatif bagi mereka yang ingin tetap tampil stylish serta eye-catchy tanpa membuat kantong jebol.

Di era digital, praktik thrifting menjadi semakin mudah. Saat ini sudah banyak lapak-lapak daring pakaian bekas atau lebih popular disebut thrift shop, yang menjajakan beragam produk dengan harga miring.

Cukup pilih barang yang kita inginkan, bayar, dan esok harinya kita sudah bisa mengenakan pakaian-pakaian dari hasil perburuan untuk hang out atau sekedar show off di linimasa Instagram.

Saya sempat membeli pakaian second hand tanpa harus berdesak-desakan di lapak milik teman. Kala itu saya sengaja membeli celana jeans seharga Rp20.000 untuk saya improvisasi (baca: dilubangi). Sayang kalau saya harus melubangi jeans baru, jadi jeans bekas bisa menjadi solusi yang paling tepat sekaligus hemat.

Celana jeans bekas hasil improvisasi. | Dokpri
Celana jeans bekas hasil improvisasi. | Dokpri
Jika kita mempunyai mesin jahit serta kemampuan jahit-menjahit yang mumpuni, pakaian bekas dapat kita improvisasi menjadi produk baru yang sangat artistik dan bernilai jual tinggi!

Faktanya, aktivitas thrifting bukanlah sebuah tren yang baru terjadi beberapa tahun belakangan saja. Jika dirunut ke belakang, budaya itu sudah terlahir sejak awal abad ke-19 saat revolusi industri mulai berkembang dari Benua Biru hingga ke Benua Amerika.

Ada beberapa tahapan yang dipengaruhi oleh beragam fenomena sosial yang melahirkan Thrifting Culture hingga tren itu sampai ke Indonesia.

Revolusi Industri
Revolusi industri ditandai dengan lahirnya mesin uap pada abad ke-19 yang membawa perubahan secara radikal di semua aspek kehidupan, termasuk dalam gaya dan cara berbusana.

Perubahan besar itu juga mengenalkan masyarakat pada mass-production of clothing yang mengubah cara pandang mereka tentang dunia fashion.

Pakaian yang awalnya masih termasuk barang yang mewah, menjadi sangat murah, sehingga masyarakat mulai berpikir bahwa pakaian adalah barang disposable. Sekali pakai, dibuang.

Hal itu yang kemudian membuat mereka menjadi sangat konsumtif dan pakaian yang sudah tak terpakai berakhir di tong sampah. Lazimnya pakaian bekas itu akan digunakan lagi oleh para imigran atau tuna wisma.

Donasi Pakaian Bekas
Sebuah organisasi non pemerintah (NGO) asal London, Inggris, Salvation Army, tergerak untuk melakukan donasi ketika mengamati kebiasaan masyarakat dalam membuang-buang pakaian usangnya.

Salvation Army Thirft Store. | Ussfeed.com
Salvation Army Thirft Store. | Ussfeed.com
Pada tahun 1897, mereka mendirikan selter bernama Salvage Brigade yang menampung barang ataupun pakaian bekas dari masyarakat untuk kemudian didonasikan kepada orang-orang yang membutuhkan.

The Great Depression
Saat krisis besar melanda Amerika Serikat (AS) pada tahun 1929, banyak orang yang kehilangan pekerjaan. Mereka bahkan tidak mampu membeli pakaian baru, sehingga mereka memilih alternatif untuk mendatangi thrift shop. 

Kala itu Goodwill Industries merupakan salah satu thrift shop non komersial terbesar di AS yang memiliki stok pakaian dan barang-barang bekas lain.

Mereka tidak pernah menjual barang, tetapi memberikannya secara gratis kepada orang-orang yang membutuhkan. Mereka mengubah 'sampah' menjadi media gerakan sosial.

Thrift Shop Komersial
Kerstin Block mendirikan Buffalo Exchange pada tahun 1974 di Arizona, AS, yang menjadi thrift shop komersial pertama yang sukses membuka cabang.

Kala itu mereka telah memiliki 49 gerai di seluruh wilayah AS. Pelanggan dapat melakukan transaksi jual-beli barang-barang bekas di sana.

Tren Grunge Look
Tahun 90-an merupakan era kejayaan Grunge Look. Kala itu Kurt Cobain menjadi kiblat fashion setiap remaja.

Kurt mempromosikan thrifting style dengan gaya yang terkesan urakan serta sangat identik dengan ripped jeans dan flanel shirt vintage.

Lantas untuk mewujudkan fashion style itu, para remaja akan memilih thrift shop untuk berburu pakaian langka yang sudah tidak dijual di pasaran agar terlihat seperti idolanya. Sejak saat itu thrifting culture mulai berkembang.

Thrifting Culture di Indonesia
Senada dengan Curt Cobain, kelahiran band bergaya retro era 90-an seperti Naif, Club Eighties, The Upstairs, dan The Changcuters juga turut mempromosikan Grunge Look di Tanah Air.

Sejak saat itu pakaian bekas mulai diburu oleh para kawula muda dan dengan cepat menjadi tren seiring meningkatnya harga barang branded baru.

Pecinta thrifting semakin dimanjakan dengan hadirnya barang branded preloved di pasar. Salah satunya Pasar Senen, Jakarta Pusat, yang dikenal sebagai surganya para pecinta pakaian branded impor bekas.

Setelahnya, industri pakaian bekas juga semakin berkembang di Indonesia yang ditandai dengan maraknya generasi milenial yang bangga menggunakan barang-barang second hand.

Dilema Bisnis Pakaian Bekas (Ilegal)
Pakaian bekas dapat diramu menjadi bisnis yang menjanjikan, mengingat tren fashion di seluruh dunia akan terus berputar.

Menurut laporan dari World Economic Forum, fast fashion merupakan salah satu penyumbang emisi karbon yang cukup besar di seluruh dunia.

Tak hanya itu, industri fashion juga memiliki dampak buruk bagi lingkungan seperti polusi udara dan air. Lebih dari 50% dari pakaian yang diperjualbelikan berakhir di tempat pembuangan akhir. 

Alih-alih membuang baju yang tidak diinginkan atau sudah tidak muat lagi di badan, kita mempunyai pilihan untuk memperjualbelikan pakaian tersebut. Selain ramah lingkungan, kita juga bisa memperoleh uang "jajan" tambahan tanpa perlu banyak modal.

Hal itulah yang lantas menginspirasi adik saya yang masih duduk di bangku kuliah untuk mencoba peruntungan melalui bisnis pakaian preloved secara online untuk menambah uang jajan dan skincare.

Dengan modal yang bisa dibilang sangat kecil, tapi bisa menghasilkan keuntungan yang cukup besar. Taruhlah hanya dengan uang Rp500 ribu saja sebagai modal awal, adik saya dapat membeli 20 helai pakaian untuk dipajang di lapaknya.

Lapak online preloved. | Instagram @still_gorgeous.id
Lapak online preloved. | Instagram @still_gorgeous.id
Pakaian bekas yang didapatkannya dari salah satu pasar barang bekas di kota Surabaya itu kemudian disortir lagi, lantas dicuci bersih. Tak lupa diberikan pewangi. Setelah benar-benar kering, lalu disetrika dengan menambahkan pengharum pakaian.

Tahapan tersebut sangat krusial untuk memastikan kuman, virus, dan bakteri benar-banar mati oleh rangkaian proses pencucian, pengeringan, dan penyetrikaan. Bagi kalian yang membeli pakaian bekas, tahapan itu tidak boleh terlewatkan. Jangan mencoba pakaian secara langsung karena sangat berisiko bagi kesehatan.

Usai melewati proses tersebut, pakaian akan melalui proses sortir ulang, lantas dikemas dengan kemasan yang cantik sebelum dikirim ke pelanggan.

Dari bisnis tersebut, adik saya mampu mengantongi keuntungan mulai 50 hingga 100 persen dari setiap helai pakaian preloved yang terjual. Jauh lebih tinggi dibanding bisnis pakaian baru.

Akan tetapi, dilema kemudian muncul saat pemerintah mempertegas larangan impor pakaian bekas lewat Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 tentang Larangan Impor Pakaian Bekas pada 2015 lalu.

Beleid itu diturunkan sebagai reaksi pemerintah atas penemuan bakteri dan virus pada produk impor pakaian bekas melalui hasil uji lab. Pemerintah juga menganggap impor pakaian bekas bisa berpotensi mematikan produk fashion dalam negeri.

Peraturan itu membuat mereka yang terlibat dalam bisnis pakaian bekas tercekik, sebab pakaian bekas branded berkualitas yang selama ini beredar di pasar mayoritas impor dari luar negeri, seperti dari Jepang, Korea, Singapura, Malaysia, dll.

Terlebih lagi, ribuan orang telah lama menggantungkan hidup mereka dari berjualan "barang sampah" tersebut. Selain itu, pakaian bekas branded juga sudah terlanjur digemari oleh kawula muda Nusantara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun