Tak hanya soal gaya berbusana, warna kerah juga menyimpan sejarah panjang kasta pekerja.
Belum lama berlalu, Indonesia diwarnai gelombang demonstrasi yang digelar di sejumlah kota besar guna menyuarakan penolakan terkait pengesahan Undang-Undang (UU) Omnibus Law Cipta Kerja oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
Produk hukum tersebut tidak hanya dikritik secara formil karena proses pembahasannya yang dinilai minim partisipasi publik dan sangat tergesa-gesa. Secara materiil, beleid itu juga dinilai tak berpihak kepada pekerja dan lingkungan demi 'memancing' investor untuk berinvestasi di Bumi Nusantara.
Di antara sekian banyak poin yang menjadi polemik dalam UU Cipta Kerja, ada satu pembahasan yang memantik kecaman keras dari pihak pekerja, yakni skema upah kerja per jam.
Skema tersebut dinilai akan membuat pekerja menerima upah di bawah nilai upah minimum sekaligus menihilkan jaminan sosial.
Sistem pengupahan semacam itu juga dikhawatirkan mudah diakali oleh para pengusaha secara sepihak guna meraup keuntungan yang sebesar-besarnya tanpa memedulikan sisi kesejahteraan para pekerja.
Salah satu pihak yang paling dirugikan oleh beleid tersebut tak lain adalah kalangan buruh atau yang biasa disebut dengan istilah pekerja kerah biru.
Dalam dunia kerja yang selama ini kita kenal, ada dua jenis pekerja menurut warna kerah pakaian yang dikenakan, yakni kerah biru (blue collar) dan kerah putih (white collar).
Klasifikasi tersebut digunakan untuk membedakan pekerja yang melakukan pekerjaan manual dengan pekerja yang melakukan pekerjaan profesional.
Sejarah mencatat pemakaian warna kerah baju sebagai klasifikasi pekerja dimulai pada awal abad ke-20. Saat itu baru ada dua kasta pekerja yang dikenal, yaitu kerah putih dan kerah biru.Â
Namun, seiring dengan perkembangan zaman, lahir bermacam terminologi serupa menurut warna kerah terhadap jenis pekerja lainnya.
Blue Collar (Pekerja Kerah Biru)
Perkembangan kelas pekerja (working class) tidak terlepas dari revolusi industri yang berkembang dari daratan Eropa sampai ke Amerika Serikat (AS) pada awal abad ke-19. Munculnya mesin uap mengubah ekonomi agraris ke industri serta manufakur mesin.
Para pekerja industri dan pekerja "kasar" lain di AS saat itu lebih suka mengenakan seragam dengan bahan yang tahan lama dan tak harus dicuci setiap hari. Hal itu yang lantas membuat mereka memilih seragam berbahan chambray sebagai dress code saat bekerja.
Popularitas kain chambray di AS sedang tinggi-tingginya ketika itu karena dapat diolah menjadi berbagai jenis produk, mulai dari kemeja, celana panjang, sapu tangan, syal, dasi, sampai sepatu.
Bahan chambray muncul pada abad ke-16 di kota Cambrai, Prancis (dekat dengan perbatasan Belgia). Kain tersebut menjadi alternatif yang lebih ringan untuk bahan denim di wilayah Prancis Selatan.
Chambray mulai digunakan secara luas di AS pada tahun 1901, saat Angkatan Laut AS (US Navy) mulai menggunakan bahan denim dan chambray sebagai seragam kesatuan mereka.
Pada Perang Dunia II, adalah hal yang biasa untuk melihat para pelaut mengenakan kemeja chambray dan celana denim. Para pekerja di seluruh AS dengan cepat mengadopsi chambray sebagai pakaian kerja yang kemudian melahirkan istilah Blue Collar.
Terminologi Blue Collar pertama kali digunakan oleh surat kabar terbitan AS, The Alden Times, pada tahun 1924 untuk menyebut pekerja di bidang perdagangan yang melibatkan aktivitas fisik.
Chambray disukai karena kemiripannya dengan kain denim dari segi tekstur dan kekuatan. Namun, lebih lembut dan memiliki sirkulasi udara yang lebih baik.
Warna biru dinggap bisa menyamarkan kotoran dan minyak yang menempel pada pakaian para pekerja sehingga mereka terlihat lebih bersih saat sedang bekerja. Selain itu, biru juga menjadi warna populer untuk boilersuit yang melindungi pakaian mereka.
Sejak saat itu "kerah biru" sangat identik dengan pekerjaan yang melibatkan tenaga kerja terampil ataupun tidak terampil, meliputi pekerjaan di bidang manufaktur, pertambangan, pertanian, perikanan, pertamanan, pergudangan, pengolahan makanan, dan ragam jenis pekerjaan fisik lainnya.
Mereka tidak diwajibkan memiliki gelar khusus. Pekerja kerah biru memiliki kemungkinan tidak mendapatkan gaji sama sekali, karena mereka bekerja dengan upah per jam atau dibayar dari setiap barang yang mampu mereka produksi.
White Collar (Pekerja Kerah Putih)
Di era Victoria, kemeja putih berkerah merupakan simbol status sosial dan kekayaan. Hanya para bangsawan dan orang-orang kaya yang mampu untuk sering mencuci kemejanya serta memiliki cukup banyak pakaian untuk dikenakan secara bergantian.
Kemeja putih, yang menjadi akar dari istilah White Collar, masih menjadi barang yang mewah karena harganya mahal dan terbuat dari material langka.
Seiring dengan pesatnya perkembangan industri tekstil, kemeja putih mulai bisa dijangkau semua kalangan, tetapi tidak menghilangkan kesan prestise bagi orang-orang yang mengenakannya.
Lantas pada 1924, pendiri IBM, Thomas J. Watson, menginginkan adanya dress code dan meminta para karyawannya untuk mengenakan kemeja putih klasik. Sejak saat itu kemeja putih dikenal sebagai business dress code.
Kerah putih umumnya digunakan untuk menyebut pekerja yang tak memerlukan pekerjaan fisik yang berat serta sebagai pembeda antara terminologi "kerah biru" yang sudah terlebih dulu lahir.
Kala itu Sinclair mengacu pada kode berpakaian kemeja berkerah putih yang wajib dikenakan oleh pekerja kantor pria selama abad ke-19 dan ke-20. Biasanya, pekerja kerah putih dibayar dengan gaji tetap mingguan atau bulanan, bukan upah per jam.
Pekerja kerah putih bekerja di belakang meja di perusahaan jasa. Mereka menghasilkan lebih banyak uang daripada pekerja kerah biru dan keduanya berada di kelas sosial yang berbeda. Lazimnya, mereka mengenyam pendidikan yang lebih tinggi dibanding pekerja kerah biru.
Pada abad ke-21 warna kerah kemeja tidak lagi dipakai sebagai penanda kelas pekerja. Semua pekerja dapat memakai kemeja warna apa saja selama tidak menyalahi aturan atau kecuali jika sudah ditentukan oleh pihak pemberi kerja.
Usai kemunculan stratifikasi sosial kerah biru dan kerah putih, masyarakat mulai menciptakan istilah untuk berbagai pekerjaan mereka sebagai simbol dari bidang yang mereka geluti.
Green Collar (Pekerja Kerah Hijau)
Patrick Heffernan pertama menggunakan istilah ini pada 1976 untuk menyebut para pekerja di sektor ekonomi lingkungan. Misalnya, orang-orang yang bekerja di sektor energi alternatif, relawan di Greenpeace, World Wide Fund, dan sejenisnya.
Gold Collar (Pekerja Kerah Emas)
Istilah ini pertama kali digunakan oleh Robert Earl Kelley pada 1985 dalam bukunya The Gold-Collar Worker, yang merujuk pada pekerja muda berupah rendah, tetapi gemar membeli barang mewah. Istilah itu juga digunakan untuk menyebut pekerja profesional dengan spesifikasi yang sangat tinggi seperti pengacara, dokter, ilmuwan, dll.
Pink Collar (Pekerja Kerah Merah Muda)
Louise Kapp Howe memperkenalkan istilah ini pada 1990 yang merujuk pada pekerja wanita bergaji rendah seperti perawat, baby sitter, guru SD, dll.
Grey Collar (Pekerja Kerah Abu-abu)
Pekerja jenis ini berada di antara kerah putih dan kerah biru. Grey Collar merujuk pada mereka yang bekerja meski sudah masuk masa pensiun seperti polisi, pemadam kebakaran ataupun sekuriti.
Brown Collar (Pekerja Kerah Coklat)
Sistem klasifikasi ini untuk mereka yang bekerja di dunia militer seperti tentara angkatan laut, angkatan darat, angkatan udara, dan juga penjaga pantai.
Red Collar (Pekerja Kerah Merah)
Pekerja jenis ini merujuk pada mereka yang bekerja di badan kepemerintahan. Sementara, di China, Red Collar mengacu pada pekerja yang berasal dari anggota Partai Komunis di perusahaan swasta.
Orange Collar (Pekerja Kerah Oranye)
Merujuk pada para tahanan yang bekerja di balik penjara (lapas). Oranye sendiri merupakan warna seragam yang sangat identik dengan tahanan.
Yellow Collar (Pekerja Kerah Kuning)
Para pekerja di bidang kreatif. Misalnya, profesi fotografer, sutradara atau editor juga termasuk dalam klasifikasi ini.
Open Colar (Pekerja Kerah Terbuka)
Istilah ini untuk mereka yang bekerja di rumah, khususnya melalui internet. Taruhlah, Blogger, Youtuber, freelancer atau pekerja daring lain.
Semua pekerja memiliki peran masing-masing dalam tatanan masyarakat dan akan saling mengisi satu sama lain untuk menunjang kehidupan.
Terlepas dari apapun warna kerah yang mereka kenakan, negara dan perusahaan berkewajiban untuk memberikan hak-hak mereka dengan sama baiknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H