Berbakat dan barbar. Dua kata yang mendeskripsikan seorang Gazza. Sejumlah gol krusialnya datang setelah mabuk maraton beberapa hari sebelum berlaga.
Paul 'Gazza' Gascoigne merupakan salah satu pesepak bola yang dikarunia bakat natural yang pernah menginjakkan kaki di atas lapangan hijau.
Keahliannya yang tidak tertandingi dan perilakunya yang sangat sulit diprediksi, membuat Gazza menjadi pemain paling berbakat sekaligus paling eksentrik di daratan Inggris era 80 hingga 90-an.
Gazza lahir di Gateshead, Tyne and Wear, pada 27 Mei 1967 silam, dengan nama lengkap Paul John Gascoigne. Dua nama depannya adalah simbol penghormatan kepada personil The Beatles idola sang ayah, Paul McCartney dan John Lennon.
Meski bakatnya sudah terlihat sejak ia bergabung dengan sebuah tim lokal masa kecilnya, Gateshead Boys, Gazza sempat dinyatakan gagal ketika menjalani uji coba di Ipswich Town, Middlesbrough, dan Southampton.
Gazza belum mampu mencuri perhatian para pemandu bakat klub besar hingga di musim 1980 Newcastle United akhirnya tertarik untuk merekrutnya.
Di skuat Newcastle junior performanya sangat menonjol hingga membuatnya didapuk sebagai kapten tim. Gascoigne memimpin rekan-rekannya menjuarai FA Cup musim 1984-85 usai menang telak 4-1 atas Watford yang mana ia sukses melesakkan dua gol diantaranya.
Dalam laga tersebut, prilaku barbarnya terlihat saat Gazza melakukan nutmeg kepada salah satu pemain Watford dua kali berturut-turut! Bahkan manajernya sendiri, Jimmy Nelson, merasa jengkel atas tingkah nakalnya itu.
Atas penampilan gemilangnya, manajer tim senior Newcastle, Jack Charlton, pun mulai meliriknya. Ia pun turut disertakan Charlton dalam skuat senior untuk laga melawan Norwich City saat usianya baru 18 tahun. Sejak saat itu Gascoigne mulai dikenal oleh publik sepak bola Inggris.
Tak berselang lama, ia dipanggil untuk memperkuat The Three Lions. Ia begitu dicintai oleh publik sepak bola Inggris karena permainan atraktifnya. Nama "Gazza" sendiri ia dapatkan dari para penggemar beratnya.
Pimpinan klub Newcastle saat itu, Stan Seymour Jr., bahkan menjuluki dirinya sebagai "George Best without brain" karena skill olah bola Gazza layaknya George Best, tapi kerap berprilaku "gila" di dalam maupun di luar lapangan.
Suatu ketika rekan setimnya dari Brazil, Mirandinha, yang tidak bisa berbahasa Inggris, ingin memesan kopi di sebuah kafe, lalu Gazza meminta dirinya untuk mengatakan "Fuck off Ronnie. Fuck off!" kepada si pelayan kafe. Sontak, Gazza dan semua rekannya pun tertawa terpingkal-pingkal karena kalimat tersebut adalah hinaan (verbal abuse).
Sebuah perayaan gol ikonik ke gawang Skotlandia pada Euro 1996 sangat sulit lepas dari ingatan. Gazza merayakannya seolah duduk di kursi dokter gigi sambil menerima semburan air minum sebagai bentuk sindiran saat foto-foto dirinya dengan rekan setimnya sedang berpesta miras di Hongkong dalam persiapan tim menuju ajang empat tahunan tersebut.
Gazza bahkan pernah buang air besar di kaos kaki Gennaro Gattuso sebagai salam perkenalan saat keduanya sama-sama bermain untuk Glasgow Rangers. Segala tingkah konyolnya itu membuat dirinya dijuluki sebagai “Si Badut”.
Sejak kecil Gazza memang sudah dikenal sebagai trouble maker. Bersama sahabat masa kecilnya, Jimmy, ia pernah diseret ke pengadilan dan dijatuhi denda atas kasus penyerangan.
Meski berkarakter bengal, bakat besarnya berhasil memikat para manajer top Liga Inggris, yang salah satunya datang dari juru taktik Manchester United kala itu, Sir Alex Ferguson.
Bagi Fergie, ada dua "Wow factor" yang pernah ia rasakan sepanjang kariernya sebagai manajer, yakni ketika ia melihat seorang Cristiano Ronaldo bermain untuk Sporting Lisbon dan ketika menyaksikan permainan indah milik Gazza.
Momen tersebut dirasakan langsung oleh Fergie ketika ia memimpin skuatnya bertanding melawan Newcastle. Gazza sukses membuat Norman Whiteshide dan Remi Moses layaknya pemain amatir.
“Paul Gascoigne adalah pemain yang bisa membuat kita melonjak berdiri dari bangku penonton,” kata Fergie.
Kala itu usianya baru memasuki 20-an. Muda dan penuh talenta merupakan 2 hal yang disukai oleh Fergie saat memantau pemain. Ia sudah memiliki fantasi jika Gazza diduetkan dengan Bryan Robson, Mark Hughes, dan Eric Cantona.
Namun, kekaguman Fergie akhirnya bertepuk sebelah tangan. Jika Ronaldo berhasil ia rekrut, maka tidak dengan Gazza. Ia lebih memilih Tottenham Hotspur yang kemudian merekrutnya pada musim 1988.
Kekecewaan Fergie kiranya sangat logis karena Gazza adalah salah satu pemain bertalenta yang penah dimiliki oleh Inggris. Ia memiliki bakat alam yang tidak dimiliki pemain lain pada masanya.
Kegagalan Fergie dalam merekrut Paul 'Gazza' Gascoigne menjadi kekecewaan terbesarnya sebagai seorang manajer.
Gazza memiliki semua atribut pemain terbaik dunia. Sebagai gelandang serang, ia memiliki kreativitas di atas rata-rata serta memiliki kemampuan mencetak gol dan mengkreasi peluang sama baiknya.
Selain itu, ia juga memiliki kecepatan, kekuatan fisik, keseimbangan, dribbling skill jempolan, serta tendangan keras, yang memungkinkan dirinya untuk melindungi bola, melawati lawan, dan mencetak gol meski berpostur tambun.
Jose Mourinho menyebut Gazza sebagai talenta terbaik yang pernah dimiliki oleh Inggris di generasinya. Sementara Gary Lineker, menyebutnya sebagai pemain yang mempunyai kepercayaan diri dan kreativitas saat sedang menguasai bola.
Selain Newcastle dan Tottenham, ia juga sempat bermain untuk Lazio, Rangers, Middlesbrough, dan Everton. Dalam 388 laga, ia sukses menorehkan 83 gol dalam kariernya. Torehan yang cukup produktif, mengingat posisinya sebagai gelandang.
Puncaknya, ia sukses meraih PFA Young Player of the Year dan PFA Team of the Year pada musim 1987-88 saat membela Tottenham. Di Skotlandia ia juga sempat diganjar PFA Player of the Year 1996.
Masalah Gazza dengan Alkohol
Gazza memiliki banyak masalah dalam hidupnya. Ia telah didiagnosis mengidap bipolar, obsesif kompulsif disorder (OCD), bulimia, kecemasan, dan depresi.
Gangguan mental itulah yang dinilai telah memicu kecanduannya terhadap alkohol. Berkali-kali Gascoigne keluar masuk ruang rehabilitasi. Berkali-kali pula dirinya terlibat beragam kasus yang disebabkan oleh kebiasaan mabuknya itu.
Hidupnya tidak pernah lepas dari alkohol. Minuman keras sudah menjadi bagian dari hari-harinya sebagai pesepak bola. Saat memperkuat Lazio, ia pernah datang dalam kondisi teler ke tempat latihan.
Pada Juni 1996, ia melakukan selebrasi legendaris "denty's chair" yang mengacu pada pesta miras yang dilakukannya di bar Hongkong selama persiapan Euro 96 Inggris. Ia menjadi headline di berbagai surat kabar di Inggris ketika itu dengan tajuk "Disgracefool".
Hal itu semakin memperburuk kondisi Gascoigne. Hingga pada Oktober 1998 ia dirawat di rumah sakit Marchwood Priory akibat stres dan depresi. Performanya bersama Middlesbrough sudah menurun.
Gazza lantas dibuang ke Everton karena performa dan kondisinya tdak kunjung membaik. Pada Juni 2001 akhirnya ia masuk ke klinik rehabilitasi alkohol untuk kali pertama di Arizona atas desakan manajer Everton, Walter Smith.
Usai dilepas Everton, ia sempat bermain untuk Burnley. Di Gansu Tianma dan Boston United Gazza merangkap sebagai pelatih, tetapi tidak ada prestasi berarti, hingga ia memutuskan gantung sepatu pada tahun 2004.
Terhitung sejak absen di dunia sepak bola, kondisi Gazza semakin parah. Pada Mei 2007 ia menjalani operasi pada tukak lambungnya yang berlubang akibat kecanduan akutnya terhadap alkohol.
Bahkan pada Juni 2008, eks penggawa timnas Inggris tersebut dijerat Undang-Undang Kesehatan Mental menyusul laporan upaya bunuh dirinya di Hemel Hempstead. Ia juga sempat ditangkap akibat berkendara dalam keadaan mabuk (Driving under the influence) kala itu.
Prilaku barbarnya masih berlanjut. Pada Juli 2013, Gazza ditangkap atas insiden penyerangan terhadap seorang penjaga keamanan kereta api Stevenage saat ia sedang mabuk berat. Ia diharuskan untuk membayar kompensasi pada korbannya.
Setahun berselang, Gazza masuk ruang rehabilitasi akibat kecanduannya pada alkohol untuk ketujuh kalinya, lalu pada bulan Agustus 2014 ia kembali harus dirawat di rumah sakit.
Dalam sebuah wawancara di tahun 2011, Gazza akhirnya mengungkapkan semua rahasia terkait kemesraannya dengan alkohol selama ini.
Pria yang kini berusia 53 tahun tersebut mengaku, bahwa ia akan terlebih dahulu menghisap Kokain serta menenggak 9 botol brendi sebelum bertanding. Gazza mencoba melawan efek penggunaan narkoba dengan alkohol.
Gazza mengklaim beberapa gol krusial dalam kariernya didorong oleh mabuk minuman keras secara maraton beberapa hari sebelum pertandingan.
Dalam sebuah film dokumenter Channel 4 tahun 2009, putra Gazza yang berusia 12 tahun, Regan, bahkan berkata, "Jika saya bisa berharap, saya ingin dia (Gazza) pergi dari kehidupan kami."
"Dia mungkin akan segera mati. Saya pikir sia-sia untuk membantunya. Dia ayahku. Dia seharusnya membantu dan menjaga saya selama ini." tutup Regan.
Di satu sisi, Paul Gascoigne merupakan pemain Inggris paling berbakat di eranya. Pemain dengan kemampuan teknis yang begitu brilian. Namun, di lain sisi, Gazza adalah pemabuk dengan prilaku barbar.
Bisa jadi ada jasa alkohol di setiap gol krusialnya. Akan tetapi, alkohol pula yang merenggut karier gemilangnya sebagai pesepak bola profesional.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H