Masyarakat Jawa Barat mengidentifikasi istilah sandekala melalui budaya pamali. Sementara masyarakat Jawa Timur dan Jawa Tengah, budaya pamali bisa dikenali melalui konsep "ora elok" (tidak patut). Keduanya kerap diasosiakan dengan hal-hal yang dianggap pantangan atau tidak boleh dilakukan.
Sandekala berakar dari bahasa Sansekerta yang berarti gurat merah di langit senja atau senjakala. Dalam ragam bahasa Jawa sandekala memiliki padanan kata "wayah tibra layu" yang berarti ketika matahari mulai terbenam (kira-kira pukul 17.30).
Namun, sandekala kerap disalahartikan sebagai sosok raksasa besar atau jenis hantu oleh anak-anak karena konstruksi yang ditanamkan oleh orang tua mereka secara turun-temurun.
Sejatinya penggunaan sosok menakutkan dipilih sebagai wujud rasa sayang orang tua pada anak-anaknya agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Melalui simbol-simbol menakutkan anak-anak diharapkan mau menuruti nasehat orang tua dan berdiam di rumah saat sandekala.
Pandangan itupun seirama dengan kajian agama Islam. Menganjurkan anak-anak untuk tak berkeliaran di luar rumah dan menutup pintu rapat-rapat menjelang waktu Magrib hukumnya sunah.
Dalam Islam, sandekala adalah waktu di mana Jin dan Iblis mulai menyebar di alam yang sama dengan manusia untuk mencari tempat berlindung.
Mereka tersebar dalam berbagai wujud dengan jumlah yang tidak ada yang tahu selain Allah. Sebagian dari mereka takut dengan setan yang lain sehingga harus memiliki sesuatu yang mereka jadikan sebagai tempat aman untuk berlindung.
Menurutnya, saat menjelang Magrib, Jin dan Iblis berada di puncak kesaktiannya. Hal itu disebabkan karena resonansi yang dimiliki selaras dengan spektrum alam.
Pergantian waktu sandekala dari siang ke malam juga dapat berpengaruh pada fisik manusia, dari aspek penglihatan sampai pikiran, terutama pada anak-anak.
Dalam pergantian waktu tersebut mata dan pikiran mereka akan membutuhkan penyesuaian. Di waktu itulah anak-anak kesulitan dalam mengidentifikasi jalan pulang, sehingga membuatnya tersesat. Hal tersebut yang kemudian diasumsikan oleh masyarakat, bahwa hilangnya anak-anak disebabkan aktivitas Wewe Gombel. Namun, tidak menutup kemungkinan apa yang mereka percayai itu benar adanya.