Alhasil, kepergian Messi dari Barcelona harus disertai dengan penebusan release clause senilai 700 juta Euro bagi klub peminatnya.
Di sisi lain, kubu Messi meyakini tenggat waktu seharusnya mundur hingga akhir Agustus karena kondisi khusus musim 2019/2020 yang berjalan lebih panjang akibat pandemi virus corona.
Persoalan tersebut berpotensi berlanjut ke jalur hukum sebab kedua belah pihak sejauh ini belum ada kata sepakat.
Kabar keenggenan Messi untuk bertahan di Barcelona sebetulnya bukan hal yang baru. Sebelumnya banyak spekulasi beredar dirinya akan hengkang dari klub Catalan, akan tetapi rumor itu meredup seiring waktu.
Sayangnya situasi kali ini sedikit berbeda, karena kabar itu datang melalui Messi ketika Barcelona sedang berada dalam kondisi krisis baik dari sisi manajerial klub maupun dari segi prestasi.
Keinginan Messi untuk hengkang merupakan puncak dari serangkaian peristiwa yang terus menerus ditimbun hingga ia sampai pada titik jenuhnya.
Berikut ini saya rangkum, sejumlah peristiwa yang pernah ia hadapi selama berseragam Azulgrana yang berujung pada akumulasi kekecewaan dan keputusannya untuk hengkang.
#1 Bobroknya Manajemen Barcelona
Barcelona berada dalam era gelap di bawah rezim Bartomeu. Dirinya hanya jelmaan dari presiden klub terdahulu, Sandro Rosell, yang pernah mendekam di penjara atas kasus pencucian uang di tahun 2014.
Mes que un club adalah moto hidup yang diamini oleh seluruh elemen klub sejak Barcelona berdiri di tahun 1899. Hal ini salah satunya diwujudkan dalam bentuk kebijakan untuk tidak mencantumkan sponsor komersial di dada mereka. Sebagai gantinya, Barca memasang logo UNICEF dengan kompensasi harus memberikan donasi kepada anak-anak tak beruntung di seluruh dunia.
Lalu Logo UNICEF harus tergusur oleh sponsor Qatar Sport Investment (QSI) terhitung dari 2011 hingga 2016 di bawah Sandro Rosell. Bartomeu disinyalir juga turut andil perihal kontrak sponsorship yang penuh dengan konflik kepentingan tersebut.