Mohon tunggu...
David Abdullah
David Abdullah Mohon Tunggu... Lainnya - —

Best in Opinion Kompasiana Awards 2021 | Kata, data, fakta

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Termasuk Hilangnya "Epic Comeback", Ini 5 Dampak Format Baru Liga Champions

13 Agustus 2020   16:06 Diperbarui: 15 Agustus 2020   00:51 1514
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Trofi The Big Ears UCL | Greekherald.com.au

Usai terhenti beberapa saat karena pandemi Covid-19, Liga Champions comeback dengan sejumlah penyesuaian pada laga-laga tersisa.

Duel perempat final Liga Champions kali ini akan terasa sangat berbeda dari musim sebelumnya. Opsi perubahan format terpaksa harus diambil oleh UEFA untuk mempersingkat jalannya liga dengan durasi 12 hari pada babak perempat final hingga partai final.

Liga Champions akan dilanjutkan dengan format turnamen mini yang hanya akan digelar di satu venue, yakni kota Lisbon, Portugal, pada 12 Agustus hingga 23 Agustus 2020 waktu setempat (13-24 Agustus WIB).

Portugal dipilih sebagai satu-satunya venue karena dinilai paling aman dari risiko paparan Covid-19. Mengingat negara pemenang EURO 2016 itu adalah salah satu negara di Benua Biru dengan penangangan pendemi yang cukup baik.

Semua laga masih akan digelar secara tertutup atau tanpa penonton. Adapun dua stadion yang ditunjuk oleh UEFA, yakni Estadio Jose Alvalade dan Estadio da Luz.

Estadio da Luz markas Benfica | as.com
Estadio da Luz markas Benfica | as.com
Diketahui Estadio Jose Alvalade adalah kandang dari Sporting Lisbon dengan kapasitas 50.076 penonton. Sementara Estadio da Luz merupakan markas dari rival sekotanya, Benfica, yang mampu menampung 65.647 suporter.

Lisbon terakhir kali menjadi tuan rumah final Liga Champions 2014. Saat itu Real Madrid menggebuk Atletico Madrid 4-1 pada laga bertajuk El Derbi Madrileno melalui babak perpanjangan waktu di Estadio da Luz.

Format baru yang diberi nama Express itu akan menghapuskan sistem dua leg di partai perempat final yang menjadi trademark Liga Champions dan diganti dengan hanya satu leg di tempat netral.

Perubahan format satu leg baru pertama kali terjadi sejak gelaran perdana Liga Champions pada musim 1955-1956. Kompetisi yang saat itu masih disebut European Champion Clubs' Cup (Piala Champions) hanya diikuti oleh 12 klub dengan format sistem gugur (knock out) dari laga pertama hingga semifinal. Lalu tim dengan poin tertinggi akan maju ke babak berikutnya.

Pada musim 1992-1993, UEFA melalukan pergantian nama dari Piala Champions menjadi Liga Champions (UEFA Champions League). Lantas formatnya pun ikut berubah, ada penambahan babak kualifikasi dan penyisihan grup sebelum menuju fase knock out.

Khusus laga final hanya digelar sekali di venue yang ditunjuk UEFA. Sistem inilah yang digunakan hingga sekarang, kecuali pada musim 2019/20.

Perubahan format dari dua leg menjadi satu leg pada musim 2019/20 akan sangat berdampak baik pada jalannya laga maupun peluang munculnya juara baru. Berikut lima dampak yang mungkin terjadi:

#1 Hilangnya epic comeback

Liga Champions seringkali menampilkan drama hingga detik-detik akhir pertandingan. Tim yang memiliki keunggulan agregat gol di leg pertama tidak bisa begitu saja bernapas lega di leg kedua.

Sebut saja aksi remontada Barcelona pada edisi 2016/17. Di leg pertama PSG berhasil mencukur Barcelona dengan skor telak 4-0. Lalu keajaiban terjadi di Camp Nou. Barca sukses membalikkan agregat dengan kemenangan 6-1 di leg kedua. 

Begitu pula comeback dramatis Liverpool kontra Barcelona pada musim 2018/19. Kala itu, Liverpool harus mengakui superioritas Barcelona dengan skor 0-3 di Camp Nou. Tak dinyana, skuad asuhan Jurgen Klopp mampu bangkit di leg kedua dan membayar lunas defisit gol dengan skor 4-0 di Stadion Anfield.

Penerapan sistem satu leg pada laga-laga tersisa akan turut menghilangkan epic comeback sebagai ciri khas dramatis Liga Champions.

Aksi heroik yang ditunjukkan oleh Sergi Roberto di masa injury time dan gol dramatis Divock Origi guna membalikkan agregat tidak akan pernah kita jumpai di Liga Champions musim 2019/20.

#2 Tensi tinggi pertandingan

Dengan format baru yang digunakan saat ini, semua tim yang tersisa akan tampil habis-habisan agar bisa melaju ke partai selanjutnya.

Semua tim akan tampil all out dan menggebarak sejak pluit kick off dibunyikan karena tidak adanya laga penebusan dosa pada leg kedua.

Klub dengan tradisi juara seperti Barcelona dan Bayern Munchen patut waspada karena tim-tim semenjana tidak akan menyerah begitu saja.

Tim-tim underdog akan tampil trengginas. Tidak adanya target juara akan membuat mereka tampil tanpa beban. Meski akhirnya tidak juara, kelolosan mereka di perempat final adalah pencapaian yang luar biasa. 

#3 Berkurangnya jumlah gol

Seiring ditetapkannya format baru dengan hanya satu leg, otomatis produktivitas gol pun akan turut berkurang karena setiap tim hanya akan bermain dalam satu pertandingan di setiap babak.

Di Liga Champions, pertandingan leg kedua adalah momen bagi tim-tim yang mengalami defisit gol untuk mengejar ketertinggalan. Lazimnya skor-skor tidak terduga akan mewarnai pertandingan.

Leg kedua yang terkenal dengan laga penghabisan yang berdarah-darah dan diwarnai hujan gol tidak akan kita jumpai di Liga Champions kali ini.

#4 Semua tim berpeluang juara

Pada kondisi normal, sistem home-away akan sangat menguntungkan tim-tim besar karena pengalaman panjang mereka saat berlaga di atmosfer Liga Champions. Apalagi jika sudah memiliki tradisi juara.

Perubahan format menjadi satu leg diyakini akan berpengaruh besar pada jalannya laga. Tidak ada istilah tim favorit, semuanya akan dipertaruhkan dalam satu pertandingan hidup mati. Dengan kata lain, setiap tim memiliki 3 kesempatan yang sama untuk bisa menjadi juara.

Setiap kesebelasan dituntut tampil sempurna dalam setiap pertandingan. Mereka tak boleh tampil buruk sekalipun untuk bisa merengkuh trofi The Big Ears.

#5 Peluang munculnya juara baru

Dari delapan tim yang lolos di perempat final Liga Champions 2019/20, hanya Barcelona dan Bayern Munchen yang pernah meraih trofi The Big Ears. Kedua tim masing-masing mampu 5 kali juara.

Artinya, enam tim lainnya adalah calon juara baru. Meski belum pernah meraih satupun trofi Liga Champions, tim-tim sekaliber City, Atletico, dan PSG bukanlah tim receh yang patut dipandang remeh.

Lolosnya RB Leipzig, Atalanta dan Lyon sebagai tim kuda hitam juga bukan karena kebetulan. Justru tim-tim yang diremehkan seperti mereka lah yang kerap menyimpan kejutan.

Hanya dibutuhkan 3 kemenangan bagi setiap tim untuk juara. Tim mana saja yang mampu tampil gahar dan konsisten di tiga laga pamungkas akan menjadi juara, terlepas dari kualitas materi skuad yang mereka miliki.

*****
Meski kembali dengan format baru, Liga Champions masih menjadi tontonan yang layak untuk dinikmati. Akan terjadi banyak kejutan yang menanti di laga-laga selanjutnya.

Quarter final UCL 2019/20 | Cbsssport.com
Quarter final UCL 2019/20 | Cbsssport.com
Adapun 8 tim yang lolos ke babak perempat final Liga Champions musim 2019/20 yaitu Barcelona, Bayern Munchen, RB Leipzig, Atletico Madrid, Man. City, Lyon, Atalanta, dan PSG. (Update: Atalanta out)

Menurut rekan pecinta bola, siapakah yang pantas menjadi raja di daratan Eropa? Siapa jago kalian?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun