Siapa yang mampu menyaingi raihan 13 gelar Liga Champions (UCL) Real Madrid? Pesaing terdekatnya, AC Milan dan Liverpool, masing-masing hanya mampu mengoleksi 7 dan 6 gelar serupa.
Klub berjuluk Los Blancos itu juga telah memenangi 7 Piala Dunia Antar Klub, 4 Piala Super Eropa, 2 Piala UEFA, 33 gelar La Liga serta sejumlah gelar minor lainnya.
Bergelimangnya gelar, terlebih di kancah Eropa, serta pundi-pundi uang yang tak terbatas menjadi magnet tersendiri bagi pemain-pemain bintang untuk merapat.
Namun siapa sangka, di balik gelar melimpah mantan klub Cristiano Ronaldo tersebut ada peran dari seorang diktator kejam yang pernah berkuasa selama lebih dari 3 dekade di negeri Matador.
Jenderal Franco. Ia terlahir pada 4 Desember 1892 dengan nama Francisco Paulino Hermenegildo Teodulo Franco Bahamonde, di kota Ferrol, sebuah kota pesisir dekat dengan markas Angkatan Laut El Ferrol Spanyol.
Franco sudah sangat akrab dengan dunia militer sedari kecil. Selama enam generasi, para leluhurnya telah mengabdi kepada Angkatan Laut Spanyol, termasuk ayahnya, Nicolas Franco Salgado.
Awalnya ia bercita-cita menjadi seorang marinir layaknya sang ayah. Akibat pembatasan anggaran dan perekrutan untuk posisi Angkatan Laut, ia terpaksa bergabung dengan Angkatan Darat.
Pada tahun 1907, di usianya yang masih sangat belia, 14 tahun, ia mendaftar ke Akademi Infanteri di Toledo dan lulus 3 tahun berselang dengan pangkat Letnan Dua.
Karier militer Franco terbilang sangat moncer. Dua tahun kemudian, tepatnya pada Juni 1912, ia dipromosikan menjadi Letnan Pertama. Berkat peranannya dalam beberapa peperangan, Franco kemudian dinobatkan menjadi kapten.
Ia sempat terluka parah akibat terkena tembakan dari musuh. Beruntung, ia masih selamat. Insiden itu pula yang membuat Franco dipromosikan menjadi seorang mayor pada akhir Februari 1917, saat ia masih berusia 24 tahun.
Naiknya Jenderal Franco sebagai supreme leader tak terlepas dari kemenangan kaum nasionalis atas kaum republikan di perang sipil yang berlangsung selama 30 tahun serta memakan banyak korban jiwa.
Terdapat 500 ribu hingga 1 juta jiwa yang menjadi korban kekejaman rezim Franco. Korban tewas tidak hanya sebatas dalam medan pertempuran, namun juga mereka yang gugur dalam aksi pemboman dan eksekusi, serta kekurangan gizi, penyakit, dan kelaparan.
Sama halnya dengan rezim otoriter lainnya di dunia, Franco juga berkuasa dengan periode yang panjang. Bahkan kekuasaan Franco di Spanyol lebih lama jika dibanding dengan rezim Orde Baru-nya Soeharto.
Otoritarianisme memiliki ciri khas serupa yaitu cara mempertahankan status quo melalui penghancuran aspek demokrasi dan hak-hak sipil. Sebagaimana yang diterapkan oleh Franco. Meski terkesan netral saat Perang Dunia II, Spanyol dikenal menjadi salah satu negara fasis.
Sikap otoriter dan semangat ultra-nasionalisme membuatnya menentang adanya perbedaan budaya. Ia ingin menyeragamkan semua hal dalam negara bentukannya. Mulai dari aspek politik, sosial, dan budaya, bahkan sepakbola pun tak lepas dari intervensinya.
FC Barcelona (Barca) adalah salah satu klub yang merasakan langsung dampak rezim otoriter Franco. Bukan hal yang aneh jika Jenderal Franco selalu mendeskreditkan dan mengintimidasi Barca.
Blaugrana terlahir dalam nuansa pluralisme yang menjunjung demokrasi dan kesetaraan. Hal ini justru berlawanan dengan sikap Franco yang menolak demokrasi serta menghendaki penyeragaman.
Katalan (Catalunya atau Catalonia) terdiri dari 4 provinsi yakni Barcelona, Girona, Lleida, dan Tarragona. Namun Barcelona lah yang paling getol dalam mendukung kemerdekaan daerahnya dari Spanyol. Barca merupakan simbol perlawananan sekaligus kemerdekaan bangsa Katalan.
Semangat demokratis dan pluralisme yang terbangun di Katalan menjadi daya tarik bagi kaum republikan, musuh besar rezim Franco. Realitas sosial-politik itulah yang membuat Barca sangat dibenci oleh Jenderal Franco.
Sentimen negatif itu yang akhirnya memicu Jenderal Franco seringkali melakukan tindakan represif terhadap klub asal Katalan tersebut.
Salah satunya adalah ketika ia melakukan intervensi untuk mengagalkan transfer Alfredo Di Stefano ke Barca. Tidak banyak yang tahu jika legenda Real Madrid itu hampir bergabung dengan rival utamanya, Barca. Dan atas jasa Franco, Real Madrid mampu menggaetnya.
Tindakan represif Franco terhadap Barca tak hanya sebatas pembajakan transfer. Ia juga terlibat dalam penunjukan Presiden klub Barca saat itu, yaitu Joan Soler dan Enrique Pineyro.
Ia berdalih penunjukan orang-orang pilihannya itu guna menstabilkan kembali klub Lionel Messi itu setelah perang sipil, meski tujuan sebenarnya adalah untuk melemahkan kelompok oposisi Katalan.
Ia menjadi penguasa tunggal Spanyol sejak 1939 sampai pada tahun 1975. Kesuksesan Madrid atas jasa Jenderal 'Fasis' Franco menandakan awal dari kekalahan demokrasi dan kaum republikan, khususnya bangsa Katalan dan FC Barcelona.
Los Blancos telah meraih 16 gelar juara sejak La Liga pertama kali digulirkan pada 1929 hingga kematian Franco pada 1975. Sementara Barca hanya mampu meraih 9 kali gelar juara dengan periode yang sama. Dimana 14 gelar atau 42% gelar La Liga Real Madrid diraih pada rezim Franco.
Sejatinya Jenderal Franco adalah penggemar Athletic Bilbao, Real Madrid hanyalah sebuah kendaraan politik untuk melanggengkan kekuasaannya.
Ia menyadari bahwa sepakbola dapat menarik massa yang besar, sehingga ia tak pernah segan menggelontorkan dana melimpah untuk menggaet pemain bintang seperti Raymond Kopa, Ferench Puskas, hingga Alfredo Di Stefano. Franco juga tak pernah absen hadir saat Madrid berlaga di Stadion Santiago Bernabeu.
Franco memimpin Spanyol hingga akhir hayatnya. Setelah ia tiada, prestasi Real Madrid di kancah Eropa pun terhenti. Los Blancos baru juara lagi 32 tahun kemudian, di Liga Champions musim 1997/98.
Tak hanya gelar juara, warisan Jenderal diktator itu juga berwujud mental tangan besi dari manajemen Real Madrid. Para pemain bintang yang telah dibelinya dengan harga fantastis pun tak bisa bernapas lega, jika bermain buruk mereka tak segan-segan untuk menendangnya.
Tidak ada ruang bagi kemunduran sekecil apapun. Nilai-nilai itu juga menular ke suporter setianya. Pemain bintang seperti Cristiano Ronaldo dan Gareth Bale pernah merasakan cercaan dari para suporter ketika bermain buruk. Sejumlah pelatih pun tak lepas dari tekanan serupa.
44 tahun setelah kematiannya, jasad diktator Spanyol, Jenderal Francisco Franco, digali pada 24 Oktober 2019 dari kompleks Valley of the Fallen untuk dipindahkan ke makam istrinya di Mingorrubio El Pardo, utara Madrid.
Atas bergelimangnya prestasi Real Madrid, sudah selayaknya para suporter dan penggemar Los Blancos berterimakasih kepada Jenderal Franco.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H